sa-DOS sa-SEN se-Waste
Oleh
: Ega Jalaludin
Bina
Persaudaraan Indonesia
(untuk
dibaca pemerintah dan pemilik kampus swasta, semoga tidak ada mahasiswa yang
membaca artikel ini!)
Apakah dosen itu memang akronim?
Seorang kawan se-profesi dosen swasta pernah berkelakar: dosen swasta itu kepanjangan dari kerjaannya sa-dos, bayarannya sa-sen dan kegiatannya se-Wasta (waste=sia-sia). Atau
jangan-jangan dokune sering end?, sehingga karena akronim ini bisa
saja kemudian memberikan peluang kepada lembaga/instansi pendidikan swasta dalam
menentukan beban kerja yang dibebankan sangat berat bahkan tidak mencerminkan
dosen sebagai profesi,
akan tetapi sebagai pegawai. Ini
jelas menyalahi
tujuan awal pembuatan UUGD”
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen
(UUGD) menyebutkan bahwa, yang dimaksud dengan Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas
utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada
masyarakat.[1]
Pengertian “profesional dan ilmuwan” diatas tentu saja tidak
semerta-merta tercantum begitu saja, mengingat peran dan fungsi dosen dalam
peradaban pendidikan bangsa juga memiliki sumbangsih yang sangat besar. Menurut
Undang-Undang Guru dan Dosen (UUGD), profesional adalah pekerjaan atau kegiatan
yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber
penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau
kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan
pendidikan profesi.
Berkaitan
dengan hal (sumber penghasilan) tersebut, dalam Pasal 51 UUGD mengamanatkan
bahwa dalam melaksanakan tugas keprofesionalan,
dosen berhak; memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan
jaminan kesejahteraan sosial, mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan
tugas dan prestasi kerja, memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan
hak atas kekayaan intelektual, memperoleh kesempatan untuk meningkatkan
kompetensi, akses sumber belajar, informasi, sarana dan prasarana pembelajaran,
serta penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, memiliki kebebasan akademik,
mimbar akademik, dan otonomi keilmuan, memiliki kebebasan dalam memberikan
penilaian dan menentukan kelulusan peserta didik; dan memiliki kebebasan untuk
berserikat dalam organisasi profesi/organisasi profesi keilmuan.[2]
Sungguh sangat ideal, menempatkan dosen yang notabenenya “guru” sebagai profesi
yang sangat mulia dan mengagumkan.
Namun,
idealitas diatas tidak tercermin dalam pelaksanaannya. Realitas yang ada malah
hanya mempertegas seberapa kecil penghargaan pemerintah dan lembaga pendidikan tinggi swasta
terhadap dosen dan profesionalitas yang
dilekatkan padanya. Padahal dalam stigma yang berkembang dosen adalah sebuah
profesi yang tidak bisa digeluti setiap orang karena membutuhkan mental, fisik
dan kemauan untuk terus belajar dan menggali pengetahuan.
Didalam UUGD
tersebut
dijelaskan juga bahwa dosen wajib memiliki
kualifikasi akademik,
kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, dan memenuhi
kualifikasi lain yang dipersyaratkan satuan pendidikan tinggi tempat bertugas,
serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional (Pasal
45). Dalam pasal selanjutnya (pasal 46) tercantum bahwa kualifikasi akademik
dosen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 diperoleh melalui pendidikan tinggi
program pascasarjana yang terakreditasi sesuai dengan bidang keahlian. Serta
setiap dosen memiliki kualifikasi akademik minimum lulusan program magister
untuk program diploma atau program sarjana; dan lulusan program doktor untuk
program pascasarjana.
Kuliah
Pasca Sarjana yang dimaksudkan dalam UU tersebut adalah bentuk syarat Generalisir bagi siapapun yang ingin
mendalami Profesi ini, dimana setiap dosen harus memiliki minimal ijazah
Strata-2. Namun, lagi-lagi, ironisnya pada kenyataan lain biaya kuliah untuk
Strata-2 dan Strata-3 sangat tinggi, sehingga biaya yang dikeluarkan untuk
menggeluti profesi ini sangatlah besar belum lagi dibutuhkan waktu dan tenaga
yang tidak bisa dibilang main-main.
Uraian
diatas menegaskan idealitas UUGD, tetapi tidak disambut oleh goodwill pemerintah dalam hal ini Kementrian
Pendidikan Nasional dan Kemenrisdikti dalam memberikan fasilitasi, akses dan
ruang yang terbuka dan murah untuk menempuh jenjang pasca. Kita bisa bandingkan
dengan Departement Ketenagakerjaan dimana setiap kebijakan yang lahir dari UU
tentang ketenagakerjaan dan atau Peraturan Menteri Ketenagakerjaan semua selalu
disosialisasikan dan di implementasikan ke bawah dengan sangat solid, sehingga
buruh pabrik (karyawan tetap) selalu merasakan kemanjaan yang diamanatkan dalam
kebijakan. Padahal, UUGD sudah lahir lebih dari satu dekade.
Kemudian,
mengenai beban kerja yang merupakan konsekuensi dari profesinya, UUGD juga
mengatur bahwa dalam profesinya dosen dituntut melaksanakan tridharma
perguruan tinggi dengan rincian beban kerja pengajaran paling sedikit sepadan dengan 12 (dua belas) SKS
dan paling banyak 16 (enam belas) SKS pada setiap semester, beban kerja pendidikan dan penelitian paling
sedikit sepadan dengan 9 (sembilan) SKS yang dilaksanakan di perguruan tinggi
yang bersangkutan; dan beban kerja pengabdian
kepada masyarakat yang dapat dilaksanakan melalui kegiatan pengabdian
kepada masyarakat yang diselenggarakan oleh perguruan inggi yang bersangkutan
atau melalui lembaga lain. Ironisnya, bagaimana seorang dosen bisa mengajar dengan efektif dan
menyiapkan satuan acara pengajara dengan baik, meneliti dan mengabdi pada
masyarakat sekaligus apabila kemampuan fisik dan financial terbatas bahkan
terbukti dibatasi.
Dengan
beban kerja seberat itu profesi ini menjadi profesi yang sangat membutuhkan
dukungan fisik, financial dan fasilitas yang memadai dan tidak main-main.
Profesi ini membutuhkan idealism dan kesungguhan dan rasanya akan lebih
bijaksana profesi ini tidak diposisikan sebagai profesi sampingan, mengingat
bahwa pendidikan adalah salah satu unsur pembangunan bangsa yang paling besar.
Jika kita bermain-main dalam profesi ini maka kita hanya akan mencetak generasi
main-main. Bukankah kita tidak ingin bangsa ini menjadi bangsa main-main??..
Dukungan
fisik, financial dan fasilitas menjadi persoalan yang belum terselesaikan
sampai hari ini. Sudah 1 dekade kebijakan UUGD berlaku, niat baik pemerintah
belum terlihat dari aspek manapun, baik itu fisik, fasilitas apalagi financial
sehingga kemudian menjadi preseden tidak baik dan digunakan sebagai “pembenaran
perlakuan” lembaga pendidikan tinggi swasta yang ada untuk juga tidak
konsen terhadap aspek ini. Masih terdapat kesenjangan antara dosen yang statusnya
Pegawai Negeri Sipil dengan dosen yang mengabdi di sektor swasta, masih ada
kesenjangan pendapatan dan fasilitasi yang diterima, padahal ketika UUGD
mengamanatkan hal tersebut anggaran dari APBN sudah dialokasikan. Pun beban
kerja yang dilekatkan sama. Bukankah seharusnya semua memiliki derajat dan
perlakuan yang sama dimata hukum dengan tidak terkecuali?.
UUGD
mengamanatkan bahwa profesionalitas dosen harus dihargai dengan tunjangan dan
maslahat tambahan[4],
akan tetapi masih banyak dosen sector swasta yang dihargai profesionalitasnya
dibawah kebutuhan hidup layak (KHL), dosen di sebagian tempat masih
diperlakukan layaknya buruh pabrik outsourcing dengan beban kerja 40 jam
seminggu, padahal dosen harus meneliti, mengembangkan pengabdian sosial
kemasyarakatannya bahkan sebagai manusia biasa dosen juga butuh waktu untuk
keluarga. Bukankah hal ini sangat tidak manusiawi, bukankah hal seperti ini layaknya
perlakuan industri kapitalis terhadap pekerja outsourcing yang sering dosen kritisi
dan sampaikan di kelas-kelas, lalu sebenarnya kita ini apa? Dosen sebagai pekerja
outsourcing atau Dosen Sebagai
Profesi?
Dalam
kesahajaan dan kesadaran hukum yang seharusnya dijunjung tinggi tidak sedikit
dari dosen perguruan tinggi swasta berusaha mencoba berupaya merumuskan solusi
terbaik dari realitas dilematis ini dengan berupaya kritis dan menjalin
komunikasi dengan berbagai cara. Namun, sisi dilematis ini kemudian
menghadapkan dosen kepada dinding tebal lembaga pendidikan; bahwa apabila dosen
tersebut terkesan idealis dengan menuntut ditegakkannya regulasi dan kebijakan
pemerintah yang diuraikan diatas dengan konsekuensi gaji standar dan
penghasilan tambahan lain serta jaminan kesehatan yang dijamin lembaga, ada
kekhawatiran bahwa dosen tersebut tidak akan bisa berkarir (tidak diberdayakan)
sesuai dengan profesinya pada lembaga pendidikan tertentu, bahkan tidak sedikit
dosen yang dikeluarkan dan tidak diberdayakan setelah tercium idealis dan
kontra terhadap lembaga pendidikan. Tapi bagaimanapun, kebenaran harus
ditegakkan meskipun langit runtuh.[5]
Last but not least, dalam
kedewasaan dan kejernihan intelektual, tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membuka
borok pendidikan tinggi swasta di Indonesia apalagi dianggap menentang
kebijakan setiap lembaga pendidikan tinggi swasta yang ada. Tulisan ini setulusnya
dimaksudkan untuk membuka pemikiran ke-arah yang seharusnya dilakukan. Karena seorang
dosen ketika mengabdi pada sebuah lembaga pendidikan tinggi dia tidak hanya
mengabdi sebagai pekerja/pegawai yang hanya bekerja (mengajar) kemudian digaji.
Seorang dosen dalam profesinya juga menjunjung tinggi kode etik dan beban moril
dengan visi ingin mencerdaskan anak bangsa, meski sebetulnya mereka selalu
punya pilihan; bahwa dengan gaji yang sama kecil mereka bisa melakukan dua
pilihan; (1). Bekerja dengan seminimal mungkin dengan asal hadir di kelas lalu
digaji; (2) atau bekerja dengan maksimal dan memberikan semua kemampuan dan
pengalamannya di kelas agar dapat menciptakan mahasiswa-mahasiswa intelektual
dan kritis serta unggul juga dengan gaji yang sama. Ironis bukan?!
Bersambung…………….