MEMBANGUN KARAKTER BANGSA
Jati diri manusia sebagai makhluk sempurna terletak pada pembentukan karakternya berdasar keseimbangan antar unsur-unsur kejadiannya, yang tercapai melalui pengembangan daya-daya yang dianugerahkan Tuhan.
Manusia adalah
makhluk dwi-dimensi. Ia diciptakan Tuhan dari debu tanah dan ruh Ilahi. Debu
tanah membentuk jasmaninya dan ruh Ilahi yang dihembuskan-Nya itu
melahirkan daya nalar, daya kalbu, dan daya hidup. Dengan mengasah daya nalar
lahir kemampuan ilmiah; dengan mengasuh daya kalbu lahir antara lain iman
dan moral yang terpuji; dan dengan menempa daya hidup tercipta semangat
menanggulangi setiap tantangan yang dihadapi.
Jati diri manusia
sebagai makhluk sempurna terletak pada pembentukan karakternya berdasar
keseimbangan antar unsur-unsur kejadiannya, yang tercapai melalui pengembangan
daya-daya yang dianugerahkan Tuhan itu. Jati diri yang kuat serta sesuai dengan
kemanusiaan manusia, terbentuk melalui jiwa yang kuat dan konsisten, serta
memiliki integritas, dedikasi, dan loyalitas terhadap Tuhan dan sesama
makhluk.
Kendati
setiap individu memiliki ego dan kepentingan-kepentingan pribadi yang dapat
bertentangan dengan ego individu lain, namun mereka harus menjalin hubungan
kerjasama, sebab manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat berdiri sendiri
guna memenuhi kebutuhannya yang demikian banyak dan beragam. Guna langgeng dan
harmonisnya jalinan kerja sama itu, maka harus dibangun atas dasar manfaat dan
keuntungan bersama, bukan bertujuan untuk menang sendiri atau kepentingan
kelompok tertentu. Dari sinilah diperlukan moral, di mana seseorang
mengorbankan sebagian kepentingan egonya demi mencapai tujuannya, bahkan demi
membantu yang lain untuk mencapai tujuannya. Perlu dicatatat bahwa jiwa manusia
merasakan kenikmatan rohani melebihi kenikmatan jasmani setiap berhasil
mengendalikan dorongan nafsunya, selama kalbunya masih berfungsi dengan baik.
Karena itu, dalam konteks meningkatkan kesadaran moral, perhatian harus banyak
tertuju kepada kalbu.
PEMBENTUKAN
KARAKTER
Karakter berbeda
dengan temperamen. Temperamen merupakan corak reaksi seseorang terhadap
berbagai rangsangan dari luar dan dari dalam. Ia berhubungan erat dengan
kondisi biopsikologi seseorang, sehingga sangat sulit diubah karena ia
dipengaruhi oleh unsur hormon yang bersifat biologis. Sedang kakarter terbentuk
melalui perjalanan hidup seseorang. Ia dibangun oleh pengetahuan, pengalaman,
serta penilaian terhadap pengalaman itu. Kepribadian dan karakter yang baik
merupakan interaksi seluruh totalitas manusia. Dalam bahasa Islam, ia dinamai rusyd.
Ia bukan saja nalar, tetapi gabungan dari nalar, kesadaran moral, dan
kesucian jiwa.
Karakter
terpuji merupakan hasil internalisasi nilai-nilai agama dan
moral pada diri seseorang yang ditandai oleh sikap dan perilaku positif. Karena
itu, ia berkaitan sangat erat dengan kalbu. Bisa saja seseorang memiliki
pengetahuan yang dalam, tetapi tidak memiliki karakter terpuji. Sebaliknya,
bisa juga seseorang yang amat terbatas pengetahuannya, namun karakternya amat
terpuji. "Sesungguhnya dalam diri manusia ada suatu gumpalan, kalau ia
baik, baiklah seluruh (kegiatan) jasad dan kalau buruk, buruk pula seluruh
(kegiatan) jasad. Gumpalan itu adalah hati”.
Memang ilmu tidak
mampu menciptakan akhlak atau iman, ia hanya mampu mengukuhkannya, dan karena
itu pula mengasuh kalbu sambil mengasah nalar, memperkukuh karakter seseorang.
Dalam konteks
membangun moral bangsa, maka diperlukan nilai-nilai yang harus disepakati
dan dihayati bersama.
Disepakati karena kalau
setiap orang diberi kebebasan untuk menentukan nilai itu, maka seorang perampok
misalnya, akan menilai bahwa mengambil hak orang lain adalah tujuan dan bahwa
kekuatan adalah tolok ukur hubungan antar masyarakat. Ini tentu saja akan
merugikan masyarakat bahwa pada akhirnya merugikan diri yang bersangkutan
sendiri. Tetapi di sisi lain, jika kita tidak memberi kesempatan kepada
manusia untuk memilih, maka ketika itu kita telah menjadikannya bagaikan mesin
bukan lagi manusia yang memiliki kehendak, tanggung jawab, dan
cita-cita. Manusia harus memiliki pilihan, tetapi pilihan tersebut bukan
pilihan orang perorang secara individu, tetapi pilihan mereka secara kolektif.
Dari sini setiap masyarakat secara kolektif bebas memilih pandangan hidup,
nilai-nlai, dan tolok ukur moralnya dan hasil pilihan itulah yang dinamai
Jati diri bangsa. Dengan demikian, jati diri bangsa terkait
erat dengan kesadaran kolektif yang terbentuk melalui proses yang panjang.
Memang rumusannya dicetuskan oleh kearifan the founding fathers
bangsa, tetapi itu mereka gali dari masyarakat dan karena itu pula
maka masyarakat menyepakatinya. Jati diri bangsa Indonesia yang kita sepakati
adalah Pancasila.
Nilai-nilai yang
telah disepakati itu harus dihayati, karena hanya dengan
penghayatan nilai dapat berfungsi dalam kehidupan ini. Hanya dengan
penghayatan karakter dapat terbentuk. Tidak ada gunanya berteriak sekuat tenaga
atau menulis panjang lebar tentang nilai-nilai dan keindahannya, jika hanya
terbatas sampai di sana. Ini bagaikan seseorang yang memuji-muji kehebatan
obat, tetapi obat itu tidak ditelannya sehingga tidak mengalir ke
seluruh tubuhnya dan tidak menjadi bagian dari dirinya. Ia harus menelannya,
lalu membiarkan darah mengalirkan obat itu ke seluruh tubuhnya, serta menyentuh
dan mengobati bagian-bagian dirinya yang sakit, bahkan lebih memperkuat
lagi yang telah kuat.
Selanjutnya, karena
nilai-nilai yang dihayati membentuk karakter, maka nilai-nilai yang dihayati
seseorang atau satu bangsa dapat diukur melalui karakternya. Perubahan
yang terjadi pada karakter, bisa jadi karena perubahan nilai yang dianut
atas dasar kesadaran mereka, dan bisa juga karena terperdaya atau lupa
oleh satu dan lain sebab.
Dari sini diperlukan nation and character
building. Membangun kembali karakter bangsa mengandung arti upaya
untuk memperkuat ingatan kita tentang nilai-nilai luhur yang telah kita
sepakati bersama dan yang menjadi landasan pembentukan bangsa, - dalam hal ini
adalah Pancasila, disamping membuka diri untuk menerima nilai-nilai baru yang
tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar pandangan bangsa. Inilah
yang dapat menjamin keuntuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta
kelestarian Pancasila sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa.
Semakin matang dan
dewasa satu masyarakat, semakin mantap pula pengejewan-tahan nilai-nilai yang
mereka anut dalam kehidupan mereka. Masyarakat yang belum dewasa, adalah yang
belum berhasil dalam pengejewantahannya dan masyarakat yang sakit adalah yang
mengabaikan nilai-nilai tersebut.Penyakit bila berlangsung tanpa diobati akan
mempercepat kematian masyarakat. Bila penyakit masyarakat berlanjut tanpa
pengobatan, maka kematian masyarakat tidak dapat terelakan.
Bila terdapat hal-hal
dalam diri angggota masyarakat yang bertentangan dengan jati diri
dan tujuan itu, maka semestinya masyarakat meluruskan hal tersebut sehingga
terjadi keharmonisan antara ego setiap individu dan kepentingan masyarakat.
Sekali lagi terlihat disini betapa pentingnya melaklukan apa yang diistilahkan
dengan Character and Nation Building “
Masyarakat melakukan
hal tersebut melalui pendidikan. Disinilah terukur keberhasilan dan
kegagalan pendidikan. Karena itu pula ukuran keberhasilan lembaga
pendidikan – khususnya Perguruan Tinggi- bukan saja melalui
kedalaman ilmu dan ketajaman nalar para staf pengajarnya tetapi juga pada
kecerdasan emosi dan spiritual civitas akademikanya.
Kecerdasan intelektual- jika tidak dibarengi
dengan kedua kecerdasan di atas, maka manusia bahkan kemanusiaan seluruhnya
akan terjerumus dalam jurang kebinasaan. Sebaliknya jika kecerdasan intelektual
dibarengi oleh kedua kecerdasan itu, maka keduanya akan membimbing seseorang
untuk menggunakan pengetahuannya menuju kebaikan, yang pada gilirannya
menghasilkan aneka buah segar yang bermanfaat bagi diri, masyarakat bahkan
kemanusiaan seluruhnya.
Pembentukan karakter
bangsa harus bermula dari individu anggota-anggota masyarakat bangsa, karena
masyarakat adalah kumpulan individu yang hidup di satu tempat
dengan nilai-nilai yang merekat mereka. Masyarakat adalah kumpulan sekian banyak individu
yang terbentuk berdasar tujuan yang hendak mereka capai. Ini karena
setiap individu lahir dalam keadaan hampa budaya, lalu masyarakatnya yang
membentuk budaya dan nilai-nilainya, yang lahir dari pilihan dan
kesepakatan mereka .
Membentuk karakter
individu bermula dari pemahaman tentang diri sebagai manusia, potensi
positif dan negatifnya serta tujuan kehadirannya di pentas bumi ini.
Selanjutnya karena masyarakat Indonesia adalah masyarakat religius, ber-Ketuhan
Yang Maha Esa, maka tentu saja pemahaman tentang tentang hal-hal tersebut harus
bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa / ajaran agama.
Untuk
mewujudkan karakter yang dikehendaki diperlukan lingkungan yang kondusif,
pelatihan dan pembiasaan, presepsi terhadap pengalaman hidup dan lain-lain.
Disisi lain katrakter yang baik harus terus diasah dan diasuh,
karena ia adalah proses pendakian tanpa akhir. Dalam bahasa agama
penganugerahan hidayat Tuhan tidak terbatas, sebagaimana tidak bertepinya
samudra ilmu “ Tuhan menambah hidayatnya bagi orang yang telah memperoleh
hidayat” dan Tuhanpun memerintahkan manusia pilihannya untuk terus memohon
tambahan pengetahuan. Praktek ibadah yang ditetapkan agama bukan saja
cara untuk meraih karakter yang baik, tetapi juga cara untuk memelihara
karakter itu dari aneka pengaruh negative yang bersumber dari dalam
diri manusia dan dari lingkungan luarnya, sekaligus ia adalah cara untuk
mendaki menuju puncak karakter terbaik, -yang dalam ajaran Islam adalah upaya
untuk meneladani sifat-sifat Tuhan yang tidak terbatas itu. Karena itu ibadah
harus terus berlanjut hingga akhir hayat, dan karena itu pula pembentukan
karakter adalah suatu proses tanpa henti.
Kalau
merujuk kepada ajaran agama dan keberhasilan para nabi serta penganjur
kebaikan, maka ditemukan sekian banyak cara yang mereka tempuh yang akhirnya
mengantar kepada keberhasilan mereka. Tentu tidak mudah hal itu
dipaparkan secara utuh dalam kesempatan ini. Namun yang jelas, mereka
tidak sekedar menyampaikan informasi tentang makna baik dan
buruk. Memang ini diperlukan untuk mewujudkan pemahaman yang mengantar kepada
perubahan positif, tetapi jika terbatas hanya sampai disana, maka
ini hanya mengantar kepada pengetahuan yang menjadikan pemiliknya pandai
berargumentasi tentang kebaikan sesuatu- walau mereka tidak
mengerjakannya atau mengeritik keburukan yang mereka jumpai –walau mereka
sendiri melakukannya. Hal serupa inilah yang kini tidak jarang terjadi dalam
masyarakat kita.
Pengetahuan
tanpa penghayatan, tidak dapat menimbulkan apa yang diistilahkan oleh
pakar-pakar agama (tashawwuf) dengan halah yakni kondisi
psikologis yang mengantar seseorang berkeinginan kuat untuk berubah
secara positif. Boleh jadi keinginan berubah itu tidak muncul
karena yang bersangkutan telah puas dengan keadaannya buruk, yang dalam
bahasa kitab suci Al-Qur'an telah diperindah (oleh setan) keburukan
amal-amalnya sehingga memperturutkan nafsunya ( Q.S.Muhammad [47]:14) dan
dengan demikian jangankan menjadi climber - dalam
istilah sementara psikolog – yakni pendaki kepuncak prestasi guna
mengaktualisasikan diri, menjadi camper yakni berkemah
pada pertengahan anak tangga pendakianpun, tidak mampu
dilakukannya, karena ia telah menjadi quiter berhenti
bergerak, menyerah kalah sebelum berusaha. Ini dalam bahasa
Al-Qur'an dilukiskan dengan kalimat istahwaza 'alaihihim Asy-Syaithan (mereka
telah dikuasai oleh setan sehingga setan menjadikan mereka
lupa mengingat Tuhan" (QS. Al-Mujadalah [58]:
19).
Para
nabi dan penganjur kebaikan di samping menjelaskan dan mengingatkan tentang
baik dan buruk, mereka justeru lebih banyak melakukan olah jiwa
dan pembiasaan, dengan aneka pengamalan yang
kalau perlu pada mulanya dibuat-buat -- bukan oleh dorongan kemunafikan
tetapi -- agar menjadi kebiasaan dan watak. Mereka juga
mengemukakan aneka pengalaman sejarah masyarakat dan tokoh-tokoh
masa lampau. Disamping itu, mereka berusaha sekuat kemampuan untuk
mengurangi sedapat mungkin pengaruh negative lingkungan, karena melalui
lingkungan, watak dapat berubah menjadi positif atau negatif. Hanya saja
perlu dicatat bahwa pada umumnya pengaruh negatif lingkungan lebih mudah
diserap daripada pengaruh positifnya. Sedang pendekatan yang mereka lakukan
guna menciptakan watak masyarakat adalah pendekatan buttom-up,
yang mereka tularkan kepada keluarga, lalu sahabat dan handai tolan dalam
lingkungan kecil hingga mencakup seluruh masyarakat. Wallâhu a’lamu
bish-shawwâb.
Sumber :
Ditulis sendiri oleh M. Quraish Shihab.