Pendidikan di Indonesia: Masalah dan Solusinya
Kualitas pendidikan di Indonesia
sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara lain dengan data UNESCO (2000)
tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi
dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala
yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di
antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99
(1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999).
Menurut survei Political and
Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada
urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam.
Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki
daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang
disurvei di dunia. Dan masih menurut survai dari lembaga yang sama Indonesia
hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53
negara di dunia.
Kualitas pendidikan Indonesia yang
rendah itu juga ditunjukkan data Balitbang (2003) bahwa dari 146.052 SD di
Indonesia ternyata hanya delapan sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia
dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia
ternyata juga hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam
kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh
sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program
(DP).
Apa makna data-data tentang
rendahnya kualitas pendidikan Indonesia ityu? Maknanya adalah, jelas ada
something wrong (masalah) dalam sistem pendidikan Indonesia. Ditinjau secara
perspektif ideologis (prinsip) dan perspektif teknis (praktis), berbagai
masalah itu dapat dikategorikan dalam 2 (dua) masalah yaitu :
Pertama, masalah mendasar, yaitu
kekeliruan paradigma pendidikan yang mendasari keseluruhan penyelenggaran
sistem pendidikan.
Kedua, masalah-masalah cabang, yaitu
berbagai problem yang berkaitan aspek praktis/teknis yang berkaitan dengan
penyelenggaraan pendidikan, seperti mahalnya biaya pendidikan, rendahnya
prestasi siswa, rendahnya sarana fisik, rendahnya kesejahteraaan guru, dan
sebagainya.
Walhasil, jika pendidikan kita
diumpamakan mobil, mobil itu berada di jalan yang salah yang –sampai kapan
pun– tidak akan pernah menghantarkan kita ke tempat tujuan (masalah
mendasar/paradigma).
Di samping salah jalan, mobil itu
mengalami kerusakan dan gangguan teknis di sana-sini : bannya kempes, mesinnya
bobrok, AC-nya mati, lampu mati, dan jendelanya rusak (masalah cabang/praktis).
2. Masalah Mendasar : Sekularisme
Sebagai Paradigma Pendidikan
Jarang ada orang mau mengakui dengan
jujur, sistem pendidikan kita adalah sistem yang sekular-materialistik.
Biasanya yang dijadikan argumentasi, adalah UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003
pasal 4 ayat 1 yang berbunyi, “Pendidikan nasional bertujuan membentuk manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak dan berbudi
mulia, sehat, berilmu, cakap, serta menjadi warga negara yang demokratis dan
bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air.”
Tapi perlu diingat, sekularisme itu
tidak otomatis selalu anti agama. Tidak selalu anti “iman” dan anti “taqwa”.
Sekularisme itu hanya menolak peran agama untuk mengatur kehidupan publik,
termasuk aspek pendidikan. Jadi, selama agama hanya menjadi masalah privat dan
tidak dijadikan asas untuk menata kehidupan publik seperti sebuah sistem
pendidikan, maka sistem pendidikan itu tetap sistem pendidikan sekular,
walaupun para individu pelaksana sistem itu beriman dan bertaqwa (sebagai
perilaku individu).
Sesungguhnya diakui atau tidak,
sistem pendidikan kita adalah sistem pendidikan yang sekular-materialistik. Hal
ini dapat dibuktikan antara lain pada UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Bab VI
tentang jalur, jenjang dan jenis pendidikan bagian kesatu (umum) pasal 15 yang
berbunyi: Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik,
profesi, advokasi, keagaman, dan khusus.
Dari pasal ini tampak jelas adanya
dikotomi pendidikan, yaitu pendidikan agama dan pendidikan umum. Sistem
pendidikan dikotomis semacam ini terbukti telah gagal melahirkan manusia salih
yang berkepribadian Islam sekaligus mampu menjawab tantangan perkembangan melalui
penguasaan sains dan teknologi.
Secara kelembagaan, sekularisasi
pendidikan tampak pada pendidikan agama melalui madrasah, institut agama, dan
pesantren yang dikelola oleh Departemen Agama; sementara pendidikan umum
melalui sekolah dasar, sekolah menengah, kejuruan serta perguruan tinggi umum
dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional. Terdapat kesan yang sangat kuat
bahwa pengembangan ilmu-ilmu kehidupan (iptek) dilakukan oleh Depdiknas dan
dipandang sebagai tidak berhubungan dengan agama. Pembentukan karakter siswa
yang merupakan bagian terpenting dari proses pendidikan justru kurang tergarap
secara serius. Agama ditempatkan sekadar sebagai salah satu aspek yang perannya
sangat minimal, bukan menjadi landasan dari seluruh aspek kehidupan.
Hal ini juga tampak pada BAB X pasal
37 UU Sisdiknas tentang ketentuan kurikulum pendidikan dasar dan menengah yang
mewajibkan memuat sepuluh bidang mata pelajaran dengan pendidikan agama yang
tidak proposional dan tidak dijadikan landasan bagi bidang pelajaran yang
lainnya.
Ini jelas tidak akan mampu
mewujudkan anak didik yang sesuai dengan tujuan dari pendidikan nasional
sendiri, yaitu mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Kacaunya kurikulum ini tentu saja berawal dari asasnya yang sekular, yang
kemudian mempengaruhi penyusunan struktur kurikulum yang tidak memberikan ruang
semestinya bagi proses penguasaan tsaqâfah Islam dan pembentukan kepribadian
Islam.
Pendidikan yang
sekular-materialistik ini memang bisa melahirkan orang pandai yang menguasai
sains-teknologi melalui pendidikan umum yang diikutinya. Akan tetapi,
pendidikan semacam itu terbukti gagal membentuk kepribadian peserta didik dan
penguasaan tsaqâfah Islam. Berapa banyak lulusan pendidikan umum yang tetap
saja ‘buta agama’ dan rapuh kepribadiannya? Sebaliknya, mereka yang belajar
di lingkungan pendidikan agama memang menguasai tsaqâfah Islam dan secara
relatif sisi kepribadiannya tergarap baik. Akan tetapi, di sisi lain, ia buta
terhadap perkembangan sains dan teknologi.
Akhirnya, sektor-sektor modern
(industri manufaktur, perdagangan, dan jasa) diisi oleh orang-orang yang
relatif awam terhadap agama karena orang-orang yang mengerti agama terkumpul di
dunianya sendiri (madrasah, dosen/guru agama, Depag), tidak mampu terjun di
sektor modern.
Jadi, pendidikan sekular memang bisa
membikin orang pandai, tapi masalah integritas kepribadian atau perilaku, tidak
ada jaminan sama sekali. Sistem pendidikan sekular itu akan melahirkan insan
pandai tapi buta atau lemah pemahaman agamanya. Lebih buruk lagi, yang dihasilkan
adalah orang pandai tapi korup. Profesional tapi bejat moral. Ini adalah out
put umum dari sistem pendidikan sekular.
Mari kita lihat contoh negara
Amerika atau negara Barat lainnya. Ekonomi mereka memang maju, kehidupan
publiknya nyaman, sistim sosialnya nampak rapi. Kesadaran masyarakat terhadap
peraturan publik tinggi.
Tapi, perlu ingat bahwa agama
ditinggalkan, gereja-gereja kosong. Agama dilindungi secara hukum tapi agama
tidak boleh bersifat publik. Hari raya Idul Adha tidak boleh dirayakan di
lapangan, azan tidak boleh pakai mikrofon. Pelajaran agama tidak saja absen di
sekolah, tapi murid-murid khususnya Muslim tidak mudah melaksanakan sholat 5
waktu di sekolah. Kegiatan seks di kalangan anak sekolah bebas, asal tidak
melanggar moral publik. Narkoba juga bebas asal untuk diri sendiri. Jadi dalam
kehidupan publik kita tidak boleh melihat wajah agama.
Sistem pendidikan yang
material-sekularistik tersebut sebenarnya hanyalah merupakan bagian belaka dari
sistem kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang juga sekular. Dalam sistem
sekular, aturan-aturan, pandangan, dan nilai-nilai Islam memang tidak pernah
secara sengaja digunakan untuk menata berbagai bidang, termasuk bidang
pendidikan. Karena itu, di tengah-tengah sistem sekularistik ini lahirlah
berbagai bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai agama.
3. Masalah-Masalah Cabang
Masalah-masalah cabang yang dimaksud
di sini, adalah segala masalah selain masalah paradigma pendidikan, yang
berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan. Masalah-masalah cabang ini tentu
banyak sekali macamnya, di antaranya yang terpenting adalah sebagai berikut :
3.1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak
sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan
media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium
tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya.
Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki
perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
Data Balitbang Depdiknas (2003)
menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung 25.918.898
siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut
sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami
kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat.
Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi karena kondisi
MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs,
SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang tidak sama.
3.2. Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat
memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai
untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003
yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil
pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian
dan melakukan pengabdian masyarakat.
Bukan itu saja, sebagian guru di
Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut
kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sbb:
untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk
SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73%
(swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26%
(swasta).
Kelayakan mengajar itu jelas
berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data Balitbang Depdiknas
(1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang
berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000
guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di
tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki
pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru
18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3).
Walaupun guru dan pengajar bukan
satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran
merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas,
tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang
menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga
dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
3.3. Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru
mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia.
Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan
tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta
rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta.
guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu
per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa
melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi
les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS,
pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).
Dengan adanya UU Guru dan Dosen,
barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu
sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru
dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain
meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi,
dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan
tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak
atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru
swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan
swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan
Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat
dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan
amanat UU Guru dan Dosen (Pikiran Rakyat 9 Januari 2006).
3.4. Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu
(rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian
prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi
fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah.
Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa
Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi
matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam
hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai
negara tetangga yang terdekat.
Dalam hal prestasi, 15 September
2004 lalu United Nations for Development Programme (UNDP) juga telah
mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh
dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam
laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara.
Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada
jauh di bawahnya.
Dalam skala internasional, menurut
Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi IEA (Internasional Association for the
Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa
keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah.
Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura),
65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).
Anak-anak Indonesia ternyata hanya
mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali
menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin
karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
Selain itu, hasil studi The Third
International Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999)
memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2
Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam
dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang
disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya
mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.
3.5. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan.
Kesempatan memperoleh pendidikan
masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan
Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan
Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4%
(28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka
Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta
siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas.
Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan
sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan
dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah
ketidakmerataan tersebut
3.6. Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari
banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak
tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU
sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada
periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing
tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang
Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak
memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan
tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia
kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap
keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
3.7. Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal.
Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus
dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya
pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat
masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang
miskin tidak boleh sekolah.
Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini
dibutuhkan biaya Rp 500.000, — sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut
di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.
Makin mahalnya biaya pendidikan
sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS
(Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai
sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan
Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses
atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala
pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat
implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan
anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah.
Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah,
dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara
terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan
adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status
pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi
ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara
mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada
pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah
menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa
contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada
melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi atau semakin melemahnya
peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan
kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia
sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong
privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti
pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen
(Kompas, 10/5/2005).
Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang
dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang
yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah
memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan
Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP
tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya,
terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan
pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk
badan hukum pendidikan.
Seperti halnya perusahaan, sekolah
dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan.
Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika,
10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah
melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab
penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki
otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah
tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan
mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan
berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan
status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat
ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda
Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor
lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU
BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan
kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber
dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga
perguruan tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa
PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu
menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka
argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di
beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun
biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya
pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang tidak
mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi
persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang
berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin
akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi,
kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal
keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk ‘cuci
tangan’.
4. Solusinya
4.1. Solusi Masalah Mendasar
4.1. Solusi Masalah Mendasar
Penyelesaian masalah mendasar tentu
harus dilakukan secara fundamental. Itu hanya dapat diwujudkan dengan melakukan
perombakan secara menyeluruh yang diawali dari perubahan paradigma pendidikan
sekular menjadi paradigma Islam. Ini sangat penting dan utama.
Ibarat mobil yang salah jalan, maka
yang harus dilakukan adalah : (1) langkah awal adalah mengubah haluan atau arah
mobil itu terlebih dulu, menuju jalan yang benar agar bisa sampai ke tempat
tujuan yang diharapkan. Tak ada artinya mobil itu diperbaiki kerusakannya yang
macam-macam selama mobil itu tetap berada di jalan yang salah. (2) Setelah
membetulkan arah mobil ke jalan yang benar, barulah mobil itu diperbaiki kerusakannya
yang bermacam-macam.
Artinya, setelah masalah mendasar
diselesaikan, barulah berbagai macam masalah cabang pendidikan diselesaikan,
baik itu masalah rendahnya sarana fisik, kualitas guru, kesejahteraan gutu,
prestasi siswa, kesempatan pemerataan pendidikan, relevansi pendidikan dengan
kebutuhan, dan mahalnya biaya pendidikan.
Solusi masalah mendasar itu adalah
merombak total asas sistem pendidikan yang ada, dari asas sekularisme diubah
menjadi asas Islam, bukan asas yang lain.
Bentuk nyata dari solusi mendasar
itu adalah mengubah total UU Sistem Pendidikan yang ada dengan cara
menggantinya dengan UU Sistem Pendidikan Islam. Hal paling mendasar yang wajib
diubah tentunya adalah asas sistem pendidikan. Sebab asas sistem pendidikan
itulah yang menentukan hal-hal paling prinsipil dalam sistem pendidikan,
seperti tujuan pendidikan dan struktur kurikulum.
4.2. Solusi Masalah-Masalah Cabang
Seperti diuraikan di atas, selain
adanya masalah mendasar, sistem pendidikan di Indonesia juga mengalami
masalah-masalah cabang, antara lain :
(1). Rendahnya sarana fisik,
(2). Rendahnya kualitas guru,
(3). Rendahnya kesejahteraan gutu,
(4). Rendahnya prestasi siswa,
(5). Rendahnya kesempatan pemerataan
pendidikan,
(6). Rendahnya relevansi pendidikan
dengan kebutuhan,
(7). Mahalnya biaya pendidikan.
Untuk mengatasi masalah-masalah
cabang di atas, secara garis besar ada dua solusi yaitu:
Pertama, solusi sistemik, yakni
solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem
pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem
ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini,
diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme),
yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam
urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
Maka, solusi untuk masalah-masalah
cabang yang ada, khususnya yang menyangkut perihal pembiayaan –seperti
rendahnya sarana fisik, kesejahteraan gutu, dan mahalnya biaya pendidikan–
berarti menuntut juga perubahan sistem ekonomi yang ada. Akan sangat kurang
efektif kita menerapkan sistem pendidikan Islam dalam atmosfer sistem ekonomi
kapitalis yang kejam. Maka sistem kapitalisme saat ini wajib dihentikan dan
diganti dengan sistem ekonomi Islam yang menggariskan bahwa pemerintah-lah yang
akan menanggung segala pembiayaan pendidikan negara.
Kedua, solusi teknis, yakni solusi
yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan. Solusi
ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa.
Maka, solusi untuk masalah-masalah
teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas
sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi
peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan
ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan
untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi
solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran,
meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.
5. Sistem Pendidikan Islam
Seperti diungkapkan di atas, sistem
pendidikan Islam merupakan solusi mendasar untuk mengganti sistem pendidikan
sekuler saat ini. Bagaimanakah gambaran sistem pendidikan Islam tersebut?
Berikut uraiannya secara sekilas.
5.1. Tujuan Pendidikan Islam
Pendidikan Islam merupakan upaya
sadar, terstruktur, terprogram, dan sistematis yang bertujuan untuk membentuk
manusia yang berkarakter, yakni:
Pertama, berkepribadian Islam. Ini
sebetulnya merupakan konsekuensi keimanan seorang Muslim. Intinya, seorang
Muslim harus memiliki dua aspek yang fundamental, yaitu pola pikir (‘aqliyyah)
dan pola jiwa (nafsiyyah) yang berpijak pada akidah Islam.
Untuk mengembangkan kepribadian
Islam, paling tidak, ada tiga langkah yang harus ditempuh, sebagaimana yang
dicontohkan Rasulullah saw., yaitu:
1. Menanamkan akidah Islam kepada
seseorang dengan cara yang sesuai dengan kategori akidah tersebut, yaitu
sebagai ‘aqîdah ‘aqliyyah; akidah yang muncul dari proses pemikiran yang
mendalam.
2. Menanamkan sikap konsisten dan
istiqâmah pada orang yang sudah memiliki akidah Islam agar cara berpikir dan
berprilakunya tetap berada di atas pondasi akidah yang diyakininya.
3. Mengembangkan kepribadian Islam
yang sudah terbentuk pada seseorang dengan senantiasa mengajaknya untuk
bersungguh-sungguh mengisi pemikirannya dengan tsaqâfah islâmiyyah dan
mengamalkan ketaatan kepada Allah SWT.
Kedua, menguasai tsaqâfah Islam.
Islam telah mewajibkan setiap Muslim untuk menuntut ilmu. Berdasarkan takaran
kewajibannya, menurut al-Ghazali, ilmu dibagi dalam dua kategori, yaitu:
1. Ilmu yang termasuk fardhu ‘ain
(kewajiban individual), artinya wajib dipelajari setiap Muslim, yaitu tsaqâfah
Islam yang terdiri dari konsepsi, ide, dan hukum-hukum Islam; bahasa Arab;
sirah Nabi saw., Ulumul Quran, Tahfizh al-Quran, ulumul hadis, ushul fikih,
dll.
2. Ilmu yang dikategorikan fadhu
kifayah (kewajiban kolektif); biasanya ilmu-ilmu yang mencakup sains dan teknologi
serta ilmu terapan-keterampilan, seperti biologi, fisika, kedokteran,
pertanian, teknik, dll.
Ketiga, menguasai ilmu kehidupan
(IPTEK). Menguasai IPTEK diperlukan agar umat Islam mampu mencapai kemajuan
material sehingga dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifah Allah di muka
bumi dengan baik. Islam menetapkan penguasaan sains sebagai fardlu kifayah,
yaitu jika ilmu-ilmu tersebut sangat diperlukan umat, seperti kedokteran, kimi,
fisika, industri penerbangan, biologi, teknik, dll.
Keempat, memiliki keterampilan yang
memadai. Penguasaan ilmu-ilmu teknik dan praktis serta latihan-latihan
keterampilan dan keahlian merupakan salah satu tujuan pendidikan Islam, yang
harus dimiliki umat Islam dalam rangka melaksanakan tugasnya sebagai khalifah
Allah SWT. Sebagaimana penguasaan IPTEK, Islam juga menjadikan penguasaan
keterampilan sebagai fardlu kifayah, yaitu jika keterampilan tersebut sangat
dibutuhkan umat, seperti rekayasa industri, penerbangan, pertukangan, dan
lainnya.
5.2. Pendidikan Islam Adalah Pendidikan
Terpadu
Agar keluaran pendidikan
menghasilkan SDM yang sesuai harapan, harus dibuat sebuah sistem pendidikan
yang terpadu. Artinya, pendidikan tidak hanya terkonsentrasi pada satu aspek
saja. Sistem pendidikan yang ada harus memadukan seluruh unsur pembentuk sistem
pendidikan yang unggul.
Dalam hal ini, minimal ada 3 hal
yang harus menjadi perhatian, yaitu :
Pertama, sinergi antara sekolah,
masyarakat, dan keluarga. Pendidikan yang integral harus melibatkan tiga unsur
di atas. Sebab, ketiga unsur di atas menggambarkan kondisi faktual obyektif
pendidikan. Saat ini ketiga unsur tersebut belum berjalan secara sinergis, di
samping masing-masing unsur tersebut juga belum berfungsi secara benar.
Buruknya pendidikan anak di rumah
memberi beban berat kepada sekolah/kampus dan menambah keruwetan persoalan di
tengah-tengah masyarakat seperti terjadinya tawuran pelajar, seks bebas,
narkoba, dan sebagainya. Pada saat yang sama, situasi masyarakat yang buruk
jelas membuat nilai-nilai yang mungkin sudah berhasil ditanamkan di tengah
keluarga dan sekolah/kampus menjadi kurang optimum. Apalagi jika pendidikan
yang diterima di sekolah juga kurang bagus, maka lengkaplah kehancuran dari
tiga pilar pendidikan tersebut.
Kedua, kurikulum yang terstruktur
dan terprogram mulai dari tingkat TK hingga Perguruan Tinggi. Kurikulum
sebagaimana tersebut di atas dapat menjadi jaminan bagi ketersambungan
pendidikan setiap anak didik pada setiap jenjangnya.
Selain muatan penunjang proses
pembentukan kepribadian Islam yang secara terus-menerus diberikan mulai dari
tingkat TK hingga PT, muatan tsaqâfah Islam dan Ilmu Kehidupan (IPTEK,
keahlian, dan keterampilan) diberikan secara bertingkat sesuai dengan daya
serap dan tingkat kemampuan anak didik berdasarkan jenjang pendidikannya masing-masing.
Pada tingkat dasar atau menjelang
usia baligh (TK dan SD), penyusunan struktur kurikulum sedapat mungkin bersifat
mendasar, umum, terpadu, dan merata bagi semua anak didik yang mengikutinya.
Khalifah Umar bin al-Khaththab,
dalam wasiat yang dikirimkan kepada gubernur-gubernurnya, menuliskan, “Sesudah
itu, ajarkanlah kepada anak-anakmu berenang dan menunggang kuda, dan ceritakan
kepada mereka adab sopan-santun dan syair-syair yang baik.”
Khalifah Hisyam bin Abdul Malik
mewasiatkan kepada Sulaiman al-Kalb, guru anaknya, “Sesungguhnya anakku ini
adalah cahaya mataku. Saya mempercayaimu untuk mengajarnya. Hendaklah engkau
bertakwa kepada Allah dan tunaikanlah amanah. Pertama, saya mewasiatkan
kepadamu agar engkau mengajarkan kepadanya al-Quran, kemudian hapalkan
kepadanya al-Quran…”
Di tingkat Perguruan Tinggi (PT),
kebudayaan asing dapat disampaikan secara utuh. Ideologi sosialisme-komunisme
atau kapitalisme-sekularisme, misalnya, dapat diperkenalkan kepada kaum Muslim
setelah mereka memahami Islam secara utuh. Pelajaran ideologi selain Islam dan
konsepsi-konsepsi lainnya disampaikan bukan bertujuan untuk dilaksanakan,
melainkan untuk dijelaskan dan dipahami cacat-celanya serta ketidaksesuaiannya
dengan fitrah manusia.
Ketiga, berorientasi pada pembentukan
tsaqâfah Islam, kepribadian Islam, dan penguasaan terhadap ilmu pengetahuan.
Ketiga hal di atas merupakan target yang harus dicapai. Dalam implementasinya,
ketiga hal di atas menjadi orientasi dan panduan bagi pelaksanaan pendidikan.
5.3. Pendidikan Adalah Tanggung Jawab Negara
Islam merupakan sebuah sistem yang
memberikan solusi terhadap berbagai problem yang dihadapi manusia. Setiap
solusi yang disajikan Islam secara pasti selaras dengan fitrah manusia. Dalam
konteks pendidikan, Islam telah menentukan bahwa negaralah yang berkewajiban
untuk mengatur segala aspek yang berkenaan dengan sistem pendidikan yang
diterapkan dan mengupayakan agar pendidikan dapat diperoleh rakyat secara
mudah. Rasulullah saw. bersabda:
اَلإÙمَام٠رَاعÙ
ÙˆÙŽÙ‡ÙÙˆÙŽ مَسْؤÙوْلٌ عَنْ رَعÙيَتÙÙ‡Ù
Imam (Khalifah) adalah pengurus
rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya. (HR
al-Bukhari dan Muslim).
Perhatian Rasulullah saw. terhadap
dunia pendidikan tampak ketika beliau menetapkan para tawanan Perang Badar
dapat bebas jika mereka mengajarkan baca-tulis kepada sepuluh orang penduduk
Madinah. Hal ini merupakan tebusan. Dalam pandangan Islam, barang tebusan itu
merupakan hak Baitul Mal (Kas Negara). Tebusan ini sama nilainya dengan
pembebasan tawanan Perang Badar. Artinya, Rasulullah saw. telah menjadikan
biaya pendidikan itu setara nilainya dengan barang tebusan yang seharusnya
milik Baitul Mal. Dengan kata lain, beliau memberikan upah kepada para pengajar
(yang tawanan perang itu) dengan harta benda yang seharusnya menjadi milik
Baitul Mal. Kebijakan beliau ini dapat dimaknai, bahwa kepala negara
bertanggung jawab penuh atas setiap kebutuhan rakyatnya, termasuk pendidikan.
Imam Ibnu Hazm, dalam kitabnya,
Al-Ihkâm, menjelaskan bahwa kepala negara (khalifah) berkewajiban untuk
memenuhi sarana pendidikan, sistemnya, dan orang-orang yang digaji untuk
mendidik masyarakat. Jika kita melihat sejarah Kekhalifahan Islam, kita akan
melihat begitu besarnya perhatian para khalifah terhadap pendidikan rakyatnya.
Demikian pula perhatiannya terhadap nasib para pendidiknya. Imam ad-Damsyiqi
telah menceritakan sebuah riwayat dari al-Wadliyah bin Atha’ yang menyatakan, bahwa
di kota Madinah pernah ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak. Khalifah
Umar bin al-Khaththab memberikan gaji kepada mereka masing-masing sebesar 15
dinar (1 dinar=4,25 gram emas).
Perhatian para khalifah tidak hanya
tertuju pada gaji pendidik dan sekolah, tetapi juga sarana pendidikan seperti
perpustakaan, auditorium, observatorium, dll. Pada masa Kekhilafahan Islam, di
antara perpustakaan yang terkenal adalah perpustakaan Mosul didirikan oleh
Ja‘far bin Muhammad (w. 940 M). Perpustakaan ini sering dikunjungi para
ulama, baik untuk membaca atau menyalin. Pengunjung perpustakaan ini
mendapatkan segala alat yang diperlukan secara gratis, seperti pena, tinta,
kertas, dll. Bahkan para mahasiswa yang secara rutin belajar di perpustakaan
itu diberi pinjaman buku secara teratur. Seorang ulama Yaqut ar-Rumi memuji
para pengawas perpustakaan di kota Mer Khurasa karena mereka mengizinkan
peminjaman sebanyak 200 buku tanpa jaminan apapun perorang. Ini terjadi pada
masa Kekhalifahan Islam abad 10 M. Bahkan para khalifah memberikan penghargaan
yang sangat besar terhadap para penulis buku, yaitu memberikan imbalan emas
seberat buku yang ditulisnya.
6. Penutup
Wahai kaum Muslim, apakah sistem
pendidikan sekuler yang rusak dan bobrok saat ini akan terus kita pertahankan?
Apakah sistem pendidikan yang buruk lagi gagal ini akan terus kita lestarikan?
Marilah kita bergegas membangun
sistem pendidikan Islam, dalam negara Khilafah, yang akan melahirkan generasi
yang berkepribadian Islam. Generasi inilah yang akan mampu mewujudkan
kemakmuran dan kemuliaan peradaban manusia di seluruh dunia. Wallâhu a‘lam
bi ash-shawâb. [OLEH : M. SHIDDIQ AL-JAWI]
http://mii.fmipa.ugm.ac.id/2006/05/09/pendidikan-di-indonesia-masalah-dan-solusinya/