PHK
MAKALAH
PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (
PHK )
UAS MSDM STRATEJIK
OLEH
NAMA :
NAJMUDIN
NPM :
09010361
Kelas : VII A / Malam
Jurusan : MANAJEMEN SDM
Program Pendidikan : Strata 1 ( S-1 )
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI
STIE BINA BANGSA
SERANG
SEP2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
LATAR BELAKANG
Mewujudkan masyarakat adil dan
makmur adalah salah satu tujuan Indonesia merdeka. Oleh karena itu negara
mempunyai kewajiban untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya secara adil.
Salah satu instrumen perwujudan keadilan dan kesejahteraan itu adalah hukum.
Melalui hukum, negara berupaya mengatur hubungan-hubungan antara orang perorang
atau antara orang dengan badan hukum. Pengaturan ini dimaksudkan supaya jangan
ada penzaliman dari yang lebih kuat kepada yang lemah, sehingga tercipta
keadilan dan ketentraman di tengah-tengah masyarakat.
Salah satu peraturan yang dibuat
oleh pemerintah adalah peraturan yang mengatur hubungan seseorang di dunia
kerja. Pakta menunjukkan bahwa banyak sekali orang yang bekerja pada orang lain
ataupun bekerja pada perusahaan. Oleh sebab itu hubungan kerja antara seorang
pekerja dengan majikannya atau antara pekerja dengan badan usaha perlu diatur
sedemikian rupa supaya tidak terjadi kesewenang-wenangan yang bisa merugikan
salah satu pihak.
Pemerintah
telah menetapkan kebijakan dibidang ketenagakerjaan yang dirumuskan dalam UU
No. 13 tahun 2003. Berdasarkan ketentuan pasal 2 UU No. 13 tahun 2003
pembangunan ketenagakerjaan berlandaskan Pancasila dan Undang- Undang Dasar
Republik Indonesia Tahun 1945. Pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan dalam
rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Oleh sebab itu pembangunan
ketenagakerjaan dilaksanakan untuk mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia
yang sejahtera, adil, makmur dan merata baik materiil maupun spiritual.
Salah satu permasalahan yang sering
muncul dalam hubungan kerja adalah permasalahan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Berakhirnya hubungan kerja bagi tenaga kerja berarti kehilangan mata
pencaharian yang berarti pula permulaan masa pengangguran dengan segala
akibatnya, sehingga untuk menjamin kepastian dan ketentraman hidup tenaga kerja
seharusnya tidak ada pemutusan hubungan kerja. Akan tetapi dalam kenyataannya
membuktikan bahwa pemutusan hubungan kerja tidak dapat dicegah seluruhnya.
.
Pada Tahun
1998 Indonesia mengalami masa yang sangat sulit karena pada saat itu terjadi
krisis moneter yang berimbas pada dunia industri. Hal ini membuat beberapa
badan usaha milik swasta maupun pemerintah melakukan Pemutusan Hubungan kerja
atau yang sering disebut dengan PHK. Langkah ini terpaksa dilakukan karena
salah satu alasannya adalah perusahaan mengalami kerugian yang tidak sedikit,
sementara perusahaan mempunyai kewajiban untuk memberikan upah kepada
pegawainya.
Pemutusan
Hubungan Kerja merupakan suatu hal yang pada beberapa tahun yang lalu merupakan
suatu kegiatan yang sangat ditakuti oleh karyawan yang masih aktif bekerja. Hal
ini dikarenakan kondisi kehidupan politik yang goyah, kemudian disusul dengan
carut marutnya kondisi perekonomian yang berdampak pada banyak industri yang
harus gulung tikar, dan tentu saja berdampak pada pemutusan hubungan kerja yang
dilakukan dengan sangat tidak terencana. Kondisi inilah yang menyebabkan orang
yang bekerja pada waktu itu selalu dibayangi kekhawatiran dan kecemasan, kapan
giliran dirinya diberhentikan dari pekerjaan yang menjadi penopang hidup
keluarganya.
Makalah berikut ini akan memaparkan
tentang PHK dan penyelesaiannya menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia.
1.2.
RUMUSAN
MASALAH
Adapun yang menjadi rumusan masalah
dalam makalah ini adalah :
1.2.1. Apa Definisi
dari PHK?
1.2.2. Jelaskan
Jenis-jenis PHK?
1.2.3. Jelaskan
Mekanisme dan Penyelesaian PHK?
1.2.4. Bagaimana
bentuk Penyelesaian Kompensasi PHK?
1.3.
TUJUAN
1.3.1. Mengetahui
dengan jelas definisi dari Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
1.3.2. Mengetahui
Jenis-jenis dari Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
1.3.3. Mengetahui
Mekanisme pemberian PHK kepada karyawan dan cara penyelesaian perselisihan yang
akan timbul setelah Pemutusan Hubungan Kerja dilakukan.
1.3.4. Mengetahui
Bentuk dari pemberian Kompensasi kepada karyawan yang akan mendapatkan PHK dari
perusahaan.
1.3.5. Untuk
memenuhi tugas Mata kuliah Manajemen Personalia pada Jurusan Pendidikan Ekonomi
Koperasi Universitas Samawa (UNSA) Sumbawa Besar.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
PENGERTIAN PHK
Sebelum membicarakan tentang
pemutusan hubungan kerja (PHK) ada baiknya dibicarakan terlebih dahulu tentang
hubungan kerja, karena bagaimanapun juga PHK bisa timbul karena adanya hubungan
kerja yang terjadi sebelumnya. Menurut UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, yang dimaksud dengan hubungan kerja adalah hubungan antara
pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai
unsur pekerjaan, upah, dan perintah.
Tergantung
alasannya, PHK mungkin membutuhkan penetapan Lembaga Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial (LPPHI) mungkin juga tidak. Meski
begitu, dalam praktek tidak semua PHK yang butuh penetapan dilaporkan kepada
instansi ketenagakerjaan, baik karena tidak perlu ada penetapan, PHK tidak
berujung sengketa hukum, atau karena karyawan tidak mengetahui hak mereka.
Sebelum Pengadilan Hubungan Industrial berdiri
pada 2006, perselisihan hubungan Industrial masih ditangani pemerintah lewat Panitia Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan Pusat (P4P) dan Panitia Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan Daerah (P4D) serta Pengadilan Tata Usaha Negara.
Dari defenisi tersebut dapat
dipahami bahwa hubungan kerja dapat terjadi akibat adanya perjanjian kerja baik
perjanjian itu dibuat secara tertulis maupun secara lisan. Menurut pasal 1
point 14 UU Ketenagakerjaan, yang dimaksud dengan perjanjian kerja adalah
perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang
memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. Sahnya perjanjian
harus memenuhi syarat yang diatur secara khusus dalam UU Ketenagakerjaan, pada
Pasal 52 ayat (1) UUK menyebutkan 4 dasar perjanjian kerja, yaitu:
1. kesepakatan
kedua belah pihak;
2. kemampuan
atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
3. adanya
pekerjaan yang diperjanjikan; dan
4.
pekerjaan
yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Syarat 1 dan 2 disebut sebagai
syarat subjektif yang apabila tidak dipenuhi maka perjanjian yang telah dibuat
dapat dimintakan pembatalannya kepada pihak yang berwenang. Sedangkan syarat 3
dan 4 apabila tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut batal demi hukum, tidak
sah sama sekali.
Dengan adanya hubungan kerja, maka
pihak pekerja berhak atas upah sebagai imbalan dari pekerjaannya, sedangkan
majikan/pengusaha berhak atas jasa/barang dari pekerjaan si pekerja tersebut
sesuai dengan perjanjian kerja yang disepakati. Pemutusan hubungan kerja antara
pekerja dan pengusaha tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang. Melainkan
ada hal-hal tertentu yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak supaya PHK itu
tidak mencederai rasa keadilan diantara kedua belah pihak. Berikut ini akan
diuraikan tentang PHK dan penyelesaiannya.
2.2.
JENIS-JENIS PHK
Dalam
literature hukum ketenagakerjaan, dikenal adanya beberapa jenis pemutusan hubungan kerja (PHK), yakni:
1. PHK oleh
majikan/pengusaha;
PHK ini bisa terjadi karena hal-hal
sebagai berikut:
a) PHK karena pekerja/buruh melakukan kesalahan berat (Pasal 158 ayat (4))
b)
PHK karena pekerja/buruh (setelah)
ditahan pihak berwajib selama 6 (bulan) berturut-turut disebabkan melakukan
tindak pidana di luar perusahaan (Pasal 160 ayat (3))
c)
PHK setelah
melalui SP (surat peringatan) I, II, dan III (Pasal 161 ayat (3))
d)
PHK oleh pengusaha yang tidak
bersedia lagi menerima pekerja/buruh (melanjutkan hubungan kerja) karena adanya
perubahan status, penggabungan dan peleburan perusahaan (Pasal 163 ayat (2));
e)
PHK karena
perusahaan tutup (likuidasi) yang disebabkan bukan karena perusahaan mengalami
kerugian (Pasal 164 ayat (2)).
f)
PHK karena
mangkir yang dikualifikasi mengundurkan diri (Pasal 168 ayat (3)).
g)
PHK atas pengaduan pekerja/buruh
yang menuduh dan dilaporkan pengusaha (kepada pihak yang berwajib) melakukan
"kesalahan" dan (ternyata) tidak benar (Pasal 169 ayat (3));
h) PHK karena pengusaha (orang-perorangan) meninggal dunia (Pasal 61 ayat
(4));
2.
PHK oleh
pekerja/buruh;
PHK oleh pekerja/buruh bisa terjadi karena alasan
sebagai berikut:
a) PHK karena pekerja/buruh mengundurkan diri (Pasal 162 ayat (2));
b)
PHK karena pekerja/buruh tidak
bersedia melanjutkan hubungan kerja disebabkan adanya perubahan status,
penggabungan, peleburan dan perubahan kepemilikan perusahaan ( Pasal
163 ayat (1));
c)
PHK atas permohonan pekerja/buruh
kepada lembaga PPHI karena pengusaha melakukan "kesalahan" dan
(ternyata) benar (Pasal 169 ayat (2)).
d) PHK atas
permohonan P/B karena sakit berkepanjangan, mengalami cacat (total-tetap)
akibat kecelakaan kerja (Pasal 172).
3. PHK demi
hukum;
PHK demi hukum bisa terjadi dengan alasan/sebab
sebagai berikut:
a)
PHK karena perusahaan tutup
(likuidasi) yang disebabkan mengalami kerugian (Pasal 164 ayat (1)).
b)
PHK karena
pekerja/buruh meninggal (Pasal 166) ;
c)
PHK karena
memasuki usia pensiun (Pasal 167 ayat (5))
d)
PHK karena
berakhirnya PKWT pertama (154 huruf b kalimat kedua)
4.
PHK oleh
pengadilan (PPHI)
PHK oleh Pengadilan bisa terjadi dengan alasan/sebab:
a)
PHK karena
perusahaan pailit (berdasarkan putusan Pengadilan Niaga) (Pasal 165);
b)
PHK terhadap anak yang tidak
memenuhi syarat untuk bekerja yang digugat melalui lembaga PPHI (Pasal 68)
c)
PHK karena
berakhirnya PK (154 huruf b kalimat kedua)
2.3.
MEKANISME DAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN PHK
Mekanisme PHK
Karyawan, pengusaha dan pemerintah wajib untuk
melakukan segala upaya untuk menghindari PHK. Apabila tidak ada kesepakatan
antara pengusaha karyawan/serikatnya, PHK hanya dapat dilakukan oleh pengusaha
setelah memperoleh penetapan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial (LPPHI).
Selain
karena pengunduran diri dan hal-hal tertentu dibawah ini, PHK harus dilakukan
melalui penetapan Lembaga Penyelesaian Hubungan Industrial (LPPHI). Hal-hal
tersebut adalah :
a. Karyawan
masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah dipersyaratkan secara tertulis
sebelumnya.
b.
Karyawan mengajukan permintaan
pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi
adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai
dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali.
c.
Karyawan mencapai usia pensiun
sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan,
perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan.
d.
Karyawan meninggal dunia.
e.
Karyawan ditahan.
f. Pengusaha
tidak terbukti melakukan pelanggaran yang dituduhkan karyawan melakukan
permohonan PHK.
Selama belum
ada penetapan dari LPPHI, karyawan dan pengusaha harus tetap melaksanakan
segala kewajibannya. Sambil menunggu penetapan, pengusaha dapat melakukan
skorsing, dengan tetap membayar hak-hak karyawan.
Perselisihan PHK
Perselisihan PHK termasuk kategori perselisihan
hubungan industrial bersama perselisihan hak, perselisihan kepentingan dan
perselisihan antar serikat karyawan. Perselisihan PHK timbul karena tidak
adanya kesesuaian pendapat antara karyawan dan pengusaha mengenai pengakhiran
hubungan kerja yang dilakukan salah satu pihak. Perselisihan PHK antara lain
mengenai sah atau tidaknya alasan PHK, dan besaran kompensasi atas PHK.
PENYELESAIAN PERSELISIHAN PHK
Mekanisme
perselisihan PHK beragam dan berjenjang.
Perundingan
Bipartit adalah forum perundingan dua kaki antar pengusaha dan karyawan atau
serikatpe kerja. Kedua belah pihak diharapkan dapat mencapai kesepakatan dalam
penyelesaian masalah mereka, sebagai langkah awal dalam penyelesaian
perselisihan.
Dalam
perundingan ini, harus dibuat risalah yang ditandatangai para Pihak. isi
risalah diatur dalam Pasal 6 Ayat 2 UU PPHI. Apabila tercapai kesepakatan maka
Para pihak membuat Perjanjian Bersama yang mereka tandatangani. Kemudian
Perjanjian Bersama ini didaftarkan pada PHI wilayah oleh para pihak ditempat
Perjanjian Bersama dilakukan. Perlkunya menddaftarkan perjanjian bersama, ialah
untuk menghindari kemungkinan slah satu pihak ingkar. Bila hal ini terjadi,
pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi.
Apabila
gagal dicapai kesepakatan, maka karyawan dan pengusaha mungkin harus menghadapi
prosedur penyelesaian yang panjang melalui Perundingan Tripartit.
2. Perundingan
Tripartit
Dalam
pengaturan UUK, terdapat tiga forum penyelesaian yang dapat dipilih oleh para
pihak:
Forum
Mediasi difasilitasi oleh institusi ketenagakerjaan. Dinas tenagakerja kemudian
menunjuk mediator. Mediator berusaha mendamaikan para pihak, agar tercipta
kesepakatan antar keduanya. Dalam hal tercipta kesepakatan para pihak membuta
perjanjian bersama dengan disaksikan oleh mediator. Bila tidak dicapai
kesepakatan, mediator akan mengeluarkan anjuran.
Forum
Konsiliasi dipimpin oleh konsiliator yang ditunjuk oleh para pihak. Seperti
mediator, Konsiliator berusaha mendamaikan para pihak, agar tercipta
kesepakatan antar keduanya. Bila tidak dicapai kesepakatan, Konsiliator juga
mengeluarkan produk berupa anjuran.
Lain dengan
produk Mediasi dan Konsiliasi yang berupa anjuran dan tidak mengikat, putusan
arbitrase mengikat para pihak. Satu-satunya langkah bagi pihak yang menolak
putusan tersebut ialah permohonan Pembatalan ke Mahkamah Agung. Karena adanya
kewajiban membayar arbiter, mekanisme arbitrase kurang populer.
Pihak yang
menolak anjuran mediator/konsiliator, dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan
Hubungan Industrial (PHI). Pengadilan ini untuk pertamakalinya didirikan di
tiap ibukota provinsi. Nantinya, PHI juga akan didirikan di tiap kabupaten/
kota. Tugas pengadilan ini antara lain mengadili perkara perselisihan hubungan
industrial, termasuk perselisihan PHK, serta menerima permohonan dan melakukan
eksekusi terhadap Perjanjian Bersama yang dilanggar.
Selain
mengadili Perselisihan PHK, Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) mengadili
jenis perselisihan lainnya: Perselisihan yang timbul akibat adanya perselisihan
hak, perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat karyawan.
Pihak yang
menolak Putusan PHI soal Perselisihan PHK dapat langsung mengajukan kasasi
(tidak melalui banding) atas perkara tersebut ke Mahkamah Agung, untuk diputus.
2.4.
KOMPENSASI PHK
Dalam hal
terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon
(UP) dan atau uang penghargaan masa kerja (UPMK) dan uang penggantian hak (UPH)
yang seharusnya diterima. UP, UPMK, dan UPH dihitung berdasarkan upah karyawan
dan masa kerjanya.
Perhitungan Uang
Pesangon (UP) paling sedikit sebagai berikut :
Masa Kerja Uang Pesangon
Masa Kerja Uang Pesangon
o Masa kerja
kurang dari 1 tahun, 1 (satu) bulan upah.
o Masa kerja 1
- 2 tahun, 2 (dua) bulan upah.
o Masa kerja 2
- 3 tahun, 3 (tiga) bulan upah.
o Masa kerja 3
- 4 tahun 4 (empat) bulan upah.
o Masa kerja 4
- 5 tahun 5 (lima) bulan upah.
o Masa kerja 5
- 6 tahun 6 (enam) bulan upah.
o Masa kerja 6
- 7 tahun 7 (tujuh) bulan upah.
o Masa kerja 7
– 8 tahun 8 (delapan) bulan upah.
o Masa kerja 8
tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.
Perhitungan uang
penghargaan masa kerja (UPMK) ditetapkan sebagai berikut :
Masa Kerja
UPMK
§ Masa kerja 3
- 6 tahun 2 (dua) bulan upah.
§ Masa kerja 6
- 9 tahun 3 (tiga) bulan upah.
§ Masa kerja 9
- 12 tahun 4 (empat) bulan upah.
§ Masa kerja
12 - 15 tahun 5 (lima) bulan upah.
§ Masa kerja
15 - 18 tahun 6 (enam) bulan upah.
§ Masa kerja
18 - 21 tahun 7 (tujuh) bulan upah.
§ Masa kerja
21 - 24 tahun 8 (delapan) bulan upah.
§ Masa kerja
24 tahun atau lebih 10 bulan upah.
Uang
penggantian hak yang seharusnya diterima (UPH) meliputi :
Cuti tahunan yang belum diambil dan
belum gugur.
Biaya atau ongkos pulang untuk
karyawan/buruh dan keluarganya ketempat dimana karyawan/buruh diterima bekerja.
Penggantian perumahan serta
pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% dari uang pesangon dan/atau uang
penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat.
Hal-hal lain yang ditetapkan dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
BAB III
PENUTUP
3.1.
KESIMPULAN
PHK sebagai manifestasi pensiun yang dilaksanakan pada
kondisi tidak normal nampaknya masih merupakan ancaman yang mencemaskan
karyawan. Dunia industri negara maju yang masih saja mencari upah buruh yang
murah, senantiasa berusaha menempatkan investasinya di negara-negara yang lebih
menjanjikan keuntungan yang besar, walaupun harus menutup dan merelokasi atau
memindahkan pabriknya ke Negara lain.
Keadaan ini tentu saja berdampak PHK pada karyawan di
negara yang ditinggalkan. Efisiensi yang diberlakukan oleh perusahaan pada
dewasa ini, merupakan jawaban atas penambahan posisi-posisi yang tidak perlu di
masa lalu, sehingga dilihat secara struktur organisasi, maka terjadi
penggelembungan yang sangat besar. Ketika tuntutan efisiensi harus dipenuhi,
maka restrukturisasi merupakan jawabannya. Di sini tentu saja terjadi
pemangkasan posisi besar-besaran, sehingga PHK masih belum dapat dihindarkan.
Ketika perekonomian dunia masih belum adil, dan
program efisiensi yang dilakukan oleh para manajer terus digulirkan, maka PHK
masih merupakan fenomena yang sangat mencemaskan, dan harus diantisipasi dengan
penyediaan lapangan kerja dan pelatihan ketrampilan yang sesuai dengan
kebutuhan masyarakat (mantan karyawan).
3.2.
SARAN
Adapun saran
yang dapat kami berikan dalam makalah ini adalah, hendaknya dalam melakukan
Pemutusan hubungan kerja harus sesuai dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan yang
berlaku di Indonesia agar tidak akan ada pihak-pihak yang merasa dirugikan.
DAFTAR PUSTAKA
Flippo, E.B., 1984. Personnel Management. 5th edition.
Sydney: McGraw-Hill
International Book Company.
International Book Company.
Manulang, S. H. 1988. Pokok-Pokok Hukum
Ketenagakerjaan di Indonesia.
Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.
Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.
Kumara, A., Utami, M.S., Rosyid, H.F., 2003. Strategi
Mengoptimalkan Diri, Balai Pustaka, Jakarta.
Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Keputusan
Mahkamah Konstitusi RI, Perkara Nomor 012/PUU-1/2003.
Muzni Tambusai, Pelaksanaan
Keputusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan, Direktorat Jenderal
Pembinaan Hubungan Industrial Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 2005.
Yuhari Robingu, Hak Normatif Pekerja Akibat Pemutusan Hubungan Kerja,
ejournal.umm.ac.id/index.php/legality/article/view/291/303. (4 April 2012).
Umar Kasim, Hubungan Kerja dan Pemutusan Hubungan
Kerja, Informasi Hukum Vol. 2 Tahun VI,
2004.
Asri Wijayanti, Perlindungan Hukum bagi Pekerja
yang di PHK karena Melakukan Kesalahan Berat, http://boyyendratamin.blogspot.com/2012/03/perlindungan-hukum-bagi-pekerja-yang-di.html, (Jum’at,
30 Maret 2012)