Postingan

Menampilkan postingan dari Maret 6, 2012

HUBUNGAN AGAMA DAN POLITIK DALAM PANDANGAN IMAM KHOMEINI

Oleh: Prof.Dr. M. Dawam Rahardjo Imam Khomeini, -lahir di kota Khomein Tengah, Iran pada tahun 1902, dan pernah tinggal dan menjalani pendidikan di Najaf, Iraq selama 14 tahun, tapi menyelesaikan pendidikan tingginya di kota suci Qom di bidang teologi dan hukum Islam (fiqih)- memperoleh gambaran sejarah sebagai pemimpin Revolusi Islam Iran yang spektakuler. Dalam istilah yang kita kenal di Indonesia, ia menyandang gelar “Pemimpin Besar Revolusi” dan sekaligus “Ratu Adil”. Sebab misi utamanya, sebagaimana yang di tunggu-tunggu itu, adalah menegakkan keadilan. Ia sendiri termasuk ke dalam ketegori “hakim yang adil” (just jurist), atau fuqaha yang menurut kata-katanya sendiri adalah “benteng Islam”. Dalam konteks revolusi yang sedang dalam proses di akhir dasawarsa ’80-an, Imam Khomeini menyerukan agar kaum fuqaha, para ahli hukum Islam, “memperhatikan keadaan negara sebagaimana kaum saudagar menjaga pasar, tapi dengan kehati-hatian”. Ia sendiri telah menulis sebuah buku kritik yang san

Prof. Dr. Komaruddin Hidayat

Source: Centre For Spirituality and Leadership http://www.csl.or.id/ Prof. Dr. Komaruddin Hidayat , nama yang tidak asing lagi di dunia dakwah Islam, khususnya dakwah dengan pendekatan sufistik. Sejak menyelesaikan S3nya dalam bidang filsafat di Universitas Ankara, Turki pada 1990, pria yang biasa dipanggil Mas Komar ini bergabung dengan Yayasan Wakaf Paramadina di Jakarta. Dari Paramadina inilah ia mulai mengguratkan namanya sebagai cendekiawan Muslim yang cukup diperhitungkan. Memulai karirnya sebagai dosen dan kemudian Direktur Eksekutif Paramadina, ia lalu dipercaya menjadi Ketua Yayasan yang didirikan cendekiawan Nurcholish Madjid tersebut. Penguasaan ilmu-ilmu agamanya yang sangat mumpuni, ditambah reputasi publik yang disandangnya sebagai intelektual kelas wahid di negeri ini, membuatnya begitu sibuk memenuhi undangan diskusi, ceramah dan acara unjuk wicara (talkshow) baik di televisi maupun radio. Sejak Januari 2005, Mas Komar resmi diangkat sebagai Direktur Program Pasca S

Cak Nur Menyelamatkan Citra Islam

(Pemikiran Cak Nur) Prof. Dr. Dawam Rahardjo: Cak Nur Menyelamatkan Citra Islam 28/03/2005 Proses pembaruan pemahaman keislaman di Indonesia pada era 1970 dan 1980-an tidak pernah lepas dari peran Cak Nur (sapaan akrab Prof. Dr. Nurcholish Madjid). Gagasan-gagasan segar Cak Nur tentang keislaman, kemodernan, dan keindonesiaan, sampai kini masih menginspirasi dan mewarnai corak pemikiran beberapa generasi muda Indonesia. Hanya saja, seberapa jauh relevansi gagasan-gagasan tersebut untuk konteks kekinian masih harus terus diuji. Sebab, setiap gagasan tidak pernah terlepas dari konteks dan iklim yang dihadapi oleh seorang pemikir atau penggagas ide. Jargon “Islam, Yes! Partai Islam, No!” yang pernah dilontarkan Cak Nur pada tahun 1971, misalnya, sangat terkait dengan problem keislaman dan afiliasi politik umat Islam ketika itu. Kritikan-kritikan beberapa tokoh Islam seperti Prof. Dr. H. M. Rasjidi atas ide-ide Cak Nur, juga tidak dapat dilepaskan dari prasangka-prasangka politik y

Dalam Hal Toleransi, Eropa Jauh Terbelakang

(Pemikiran Cak Nur) Nurcholish Madjid: Dalam Hal Toleransi, Eropa Jauh Terbelakang 19/08/2001 Kemajemukan atau pluralitas adalah sunnatullah. Dalam banyak ayat, Alquran menyebutkan tentang kemajemukan sebagai sesuatu yang memang dikehendaki Allah. Karena itu, siapa saja yang berusaha menolak pluralitas sama artinya dengan menolak sunnatullah. Kemajemukan atau pluralitas adalah sunnatullah. Dalam banyak ayat, Alquran menyebutkan tentang kemajemukan sebagai sesuatu yang memang dikehendaki Allah. Karena itu, siapa saja yang berusaha menolak pluralitas sama artinya dengan menolak sunnatullah. Demikianlah inti pernyataan Prof. Dr. Nurcholish Madjid atau yang biasa dipanggil Cak Nur. Menurut cendikiawan yang juga Rektor Universitas Paramadina ini, karena kehidupan bermasyarakat bersifat plural, maka tak boleh ada pemaksaan kehendak, termasuk memaksa seseorang untuk beriman. Berikut petikan wawancara dengan Cak Nur yang dipandu oleh Nong Darol Mahmada dari Jaringan Islam Liberal: Ca

Makna Berkurban

oleh Nurcholis Madjid KETIKA krisis keuangan yang diikuti krisis ekonomi menimpa negara-negara Asia (timur) pada tahun 1997, kita melihat fenomena menarik di beberapa negara di kawasan tersebut. Di Korea Selatan misalnya, kesulitan ekonomi pada saat itu telah mendorong begitu banyak warga negaranya menyumbangkan harta kekayaannya kepada pemerintah sebagai bentuk kepedulian akan kondisi yang berkembang saat itu. Fenomena serupa kita dapati juga di Thailand. Di Indonesia, meskipun ada juga beberapa orang yang berbuat serupa, namun begitu kecil dan tidak signifikan sehingga hanya berkesan simbolik saja. Terlepas dari latar belakang politik dan budaya di negara-negara tersebut, hal itu tentu menimbulkan pertanyaan akan komitmen bangsa kita dalam menghadapi kesulitan bersama. Sepertinya setiap orang di negeri ini sibuk dengan kepentingan masing-masing, bahkan menempuh segala macam cara untuk keberhasilannya.Kondisi seperti ini tidak bisa kita diamkan terus. Kita harus menumbuhkan komit

Menimbang Nurcholish Madjid

Oleh Amich Alhumami KAJIAN tentang tema Islam dan modernisme selalu saja menarik perhatian. Tema keislaman dan kemodernan merupakan sebuah wacana pemikiran, yang mampu membangkitkan gairah intelektual untuk mendiskusikannya. Tema ini menarik perhatian terutama berkaitan dengan pertanyaan penting: apakah Islam itu kompatibel dengan modernisasi. Biasanya para pemikir dan intelektual Muslim secara subyektif menjawab pertanyaan tersebut dengan mengatakan, bahwa Islam itu bukan saja kompatibel dengan kemodernan, melainkan juga memiliki hubungan organik dengan modernitas. Karena itu, umat Islam memiliki kelenturan yang luar biasa dalam melakukan adaptasi dengan perkembangan modern. Islam merupakan agama yang paling siap menerima proses modernisasi. Seorang ahli sosiologi agama, Robert N Bellah, misalnya, secara mengejutkan memberikan penilaian bahwa Islam salaf (Islam klasik) itu sangat modern untuk ukuran tempat dan waktu pada masa itu. Islam klasik ternyata memiliki ciri-ciri yang sama

Omong Kosong Bush Membebaskan Rakyat Irak

(Pemikiran Cak Nur) Prof. Dr. Nurcholish Madjid Omong Kosong Bush Membebaskan Rakyat Irak 30/03/2003 Invasi Amerika Serikat ke Irak pekan lalu telah menghilangkan aset Amerika yang paling berharga, yakni demokrasi dan HAM. Amerika telah kehilangan legitimasi sebagai kampiun demokrasi. Prinsip-prinsip demokrasi yang telah dirintis founding fathers Amerika seperti Thomas Jefferson menguap di tangan pemimpin Amerika saat ini yang “idiot”. Kamis lalu (27/3), Ulil Abshar Abdalla dari Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) mewawancarai Prof. Dr. Nurcholish Madjid, atau akrab dipanggil Cak Nur, yang ikut serta dalam rombongan bersama dengan tokoh-tokoh agama Indonesia berkeliling Eropa dan Australia, diantaranya menemui Paus Yohanes Paulus II, untuk menentang Perang yang dikomandani Amerika Serikat. Berikut petikannya: Cak Nur, bagaimana komentar Cak Nur terhadap invasi Amerika dan Inggris terhadap Irak? Sekalipun invasi ini sudah bisa diduga sebelumnya, bahwa Amerika akan tetap memilih ti