Dalam Hal Toleransi, Eropa Jauh Terbelakang

(Pemikiran Cak Nur)

Nurcholish Madjid:
Dalam Hal Toleransi, Eropa Jauh Terbelakang
19/08/2001

Kemajemukan atau pluralitas adalah sunnatullah. Dalam banyak ayat, Alquran menyebutkan tentang kemajemukan sebagai sesuatu yang memang dikehendaki Allah. Karena itu, siapa saja yang berusaha menolak pluralitas sama artinya dengan menolak sunnatullah.

Kemajemukan atau pluralitas adalah sunnatullah. Dalam banyak ayat, Alquran menyebutkan tentang kemajemukan sebagai sesuatu yang memang dikehendaki Allah. Karena itu, siapa saja yang berusaha menolak pluralitas sama artinya dengan menolak sunnatullah. Demikianlah inti pernyataan Prof. Dr. Nurcholish Madjid atau yang biasa dipanggil Cak Nur. Menurut cendikiawan yang juga Rektor Universitas Paramadina ini, karena kehidupan bermasyarakat bersifat plural, maka tak boleh ada pemaksaan kehendak, termasuk memaksa seseorang untuk beriman. Berikut petikan wawancara dengan Cak Nur yang dipandu oleh Nong Darol Mahmada dari Jaringan Islam Liberal:

Cak Nur, kita mulai dari pertanyaan dasar dulu. Dalam ajaran Islam, konsep kemajemukan itu sebetulnya seperti apa?

Sama dalam istilah-istilah kalam, fiqh, atau tasawuf, kalau kita mencari dalam Alquran atau hadis, istilah kemajemukan itu tidak ada. Tapi sama juga dengan kalam, fiqh, atau tasawuf, ajaran-ajaran kemajemukan itu tersirat dalam Alquran, seperti firman Allah: “Kalau Tuhan menghendaki, maka semua orang di muka Bumi ini akan beriman.”

Allah pernah menegur Nabi Muhammad: “Apakah engkau hendak memaksa manusia menjadi beriman?” Ayat ini sering dikutip oleh para mubalig, maksudnya jelas, bahwa dalam agama Islam tidak boleh ada paksaan (la ikraha fi al-diin). Riwayat ayat ini merujuk kepada sebuah keluarga Yahudi di Madinah yang sudah masuk Islam mengadu kepada Nabi karena anak-anak mereka tak mau mengikuti jejak mereka. Lalu turun firman Allah tersebut.

Mengapa tidak boleh memaksa mereka masuk Islam?

Sebab yang benar jelas berbeda dengan yang salah. Tidak boleh ada pemaksaan agama artinya banyak sekali. Kita tidak boleh memaksa manusia untuk memeluk satu agama. Agama-agama yang ada—sepanjang betul-betul bersifat standar dan mempunyai kitab suci— harus ditolerir dan juga harus diberi hak hidup. Alquran bahkan menuntut mereka agar menjalankan ajaran-ajaran mereka.

Berdasarkan hal itu, secara historis, masyarakat yang paling berhasil belajar soal kemajemukan adalah masyarakat Islam. Karena itu, negara-negara Islam rata-rata multi-agama, kecuali Arab Saudi, negara ini menerapkan kebijakan politik yang dimulai Umar bin Khattab untuk daerah Hijaz. Untuk Hijaz tidak boleh ada agama lain, karena dimaksudkan sebagai sebuah homebase yang aman. Mereka yang keluar dari hijaz, dan mereka yang bersedia keluar ke Irak atau Yaman, diberi kompensasi yang besar. Tapi kalau kita ke Mesir, Yaman, Uni Emirat Arab, Libanon dan lain-lain masih banyak orang-orang Nasrani, Yahudi dan lain-lain, dengan Gereja dan Sinagogenya.

Dalam hal ini, Eropa kalah jauh sekali. Baru saat ini saja Eropa mengenal dan berinteraksi dengan agama lain. Dulu orang Eropa belum mengenal agama-agama lain. Bahkan yang terkenal justru bagaimana orang-orang Yahudi berhadapan dengan kaum ekstrimis NAZI dengan genocide dan holocoust-nya.

Artinya, dalam Islam, persoalan kemajemukan itu sudah merupakan hal yang alamiah?

Betul, itu suatu sunnatullah. Pekerjaan manusia bermacam-macam. Indonesia adalah negara yang plural. Tapi ketika kita melihat pluralitas itu sebagai sesuatu yang positif, bukan negatif, maka kita memasuki pluralisme sebagai suatu konsep yang didukung Alquran.

Tapi kita melihat akhir-akhir ini banyak sekali konflik yang mengatasnamakan agama?

Itu suatu keterangan yang sedikit ada lompatan. Sebab konflik di Aceh, tidak bisa disebut konflik agama. Demikian juga Sambas, ketika Melayu yang muslim bersatu dengan Dayak yang sebagian animis, Kristen, Katoloik dan Cina yang sebagian Katolik, Konghucu berhadapan dengan Madura yang jelas-jelas muslim.

Demikian juga yang sering diberitakan di koran, konflik atau tawuran antar desa yang sering terjadi di sepanjang jalan di daerah Indramayu, Cirebon, Brebes itu semua konflik yang melibatkan orang yang dari segi budaya sama, bahasanya, agamanya, etniknya, tingkat ekonomi dan lain-lain. Beberapa waktu lalu juga terjadi konflik di Sulawersi Selatan yang pelakunya rata-rata punya latar belakang sama. Memang di Sulawesi di Sulawesi Tengah, Kupang, Ambon ada unsur yang agama. Tapi di atas segalanya, unsur agama di situ menjadi persoalan sekunder, bahkan tersier. Primernya apa? Primernya ialah letupan perasaan terpendam karena sudah lama kita ditindas dibungkam, kemudian tahun 1998 muncul perubahan politik yang melahirkan ledakan partisipasi. Ledakan paling lunak adalah kebebasan pers, sedikit ke atas lagi, demonstrasi, di atas lagi kekerasan-kekerasan. Ada juga ledakan yang sangat positif, yaitu munculnya partai-partai.

Dalam ajaran Islam, ada atau tidak penjelasan bahwa sikap toleran itu diharuskan?

Tadi sudah saya sebut bahwa Nabi diperintah Allah karena Nabi punya pikiran untuk memaksa orang lain untuk masuk Islam. Lalu ada firman Allah yang sering dikutip para ulama: “Dan di antara kamu Aku tetapkan syariah dan cara melaksanakan syariah tersebut.” “Kalau seandainya Allah itu mau, maka Allah akan menciptakan kamu sebagai umat yang satu.” “Namun Allah ingin menguji kamu mengenai hal-hal yang dianugerahkan kepada kamu itu.” “Berlomba-lombalah kamu kepada kebaikan.” “Allah akan menerangkan mengapa dulu kamu berbeda-beda.” Jadi jelas sekali.

Bagaimana dengan keinginan sebagian masyarakat yang belakangan tampak memaksa menerapkan syariat Islam?

Mengenai pelaksanaan syariat Islam, sebenarnya masih banyak tafsir soal itu. Dalam Alquran banyak sekali indikasi bahwa semua agama sama. Tuhan menetapkan syariah kepada kamu juga kepada Ibrahim, Musa, Isa, dsb. Dan kamu harus bersatu seperti ditetapkan di dalam agama, dan jangan bercerai berai. Karena itu, syariah dalam arti yang prinsipil adalah suatu ajaran yang di dalam Alquran disebutkan sebagai “titik temu semua agama.” Atau, disebut kalimatun sawa, dan nabi sendiri mencari kalimatun sawa. Nanti kita akan bertemu keadilan, persamaan, perikemanusiaan, cinta kasih atau shilaturrahmi. Itu syariah dalam arti seluas-luasnya. Sedangkan persoalan ad hoc seperti itu selalu dipersoalkan ulama, tidak hanya di Indonesia, tapi juga di Pakistan dan di seluruh dunia.

Bagaimana kalau syariat itu hanya menitikberatkan pada pelaksanaan hudud, hukum rajam misalnya?

Kalau kita lihat contoh-contoh masa lalu di zaman khalifah, yang melaksanakan hudud adalah negara, tidak boleh swasta atau perorangan. Karena itu harus ditempuh jalan hukum. Di samping itu, yang disebut syariat Islam, bukan masalah itu saja. Ada yang lebih besar dari itu karena agak abstrak, misalnya persamaan, keadilan dsb. Tapi orang tidak menyadari yang abstrak. Orang biasa melihat yang kongkrit saja.

Bagaimana kalau penerapan syariat Islam itu dipaksankan oleh negara?

Tidak bisa. Itu sama saja dengan pemaksaan agama. Sekarang lihat saja, Pakistan didirikan menjadi negara Islam pada tahun 1947. Tapi hingga kini tidak bisa melaksanakan syariat Islam, karena di sana faksi-faksi Islam saling menghalangi. Ada Syiah, Sunni, ada juga etnis lain seperti suku Punjab dan Kurdi. Karena itu, para ulama bisa seperti Iqbal menghendaki agar yang Islam ditarik ke atas, dataran tinggi tingkat generalisasinya sehingga menjadi universal, lalu diturunkan lagi sesuai dengan ruang dan waktu. Sebab jelas sekali ada beberapa hal yang merupakan tuntutan ruang dan waktu.

Akhir-akhir ini ada beberapa kelompok Islam yang keras sekali dalam berdakwah, seperti melarang tempat-tempat maksiat dengan cara kekerasan?

Secara sosiologis, kelompok seperti itu pasti ada dalam masyarakat. Kalau sebagian besar yang bersikap seperti itu orang Islam, itu hanya karena masalah statistik saja. Karena sebagian besar penduduk kita beragama islam, maka yang bertindak ekstrem juga beragama Islam. Pencuri juga begitu. Nah jadi ada masalah statistik, sosiologis, dsb. Itu namanya taasshub. Suatu tujuan mulia harus dicapai dengan cara yang mulia juga.[]
^ Kembali ke atas

Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=171

Postingan populer dari blog ini

PENGUSAHA dan KEWAJIBANNYA

Mengidentifikasi Faktor Internal dan Eksternal dengan Analisis SWOT pada Perusahaan Konveksi