Omong Kosong Bush Membebaskan Rakyat Irak
(Pemikiran Cak Nur)
Prof. Dr. Nurcholish Madjid
Omong Kosong Bush Membebaskan Rakyat Irak
30/03/2003
Invasi Amerika Serikat ke Irak pekan lalu telah menghilangkan aset Amerika yang paling berharga, yakni demokrasi dan HAM. Amerika telah kehilangan legitimasi sebagai kampiun demokrasi. Prinsip-prinsip demokrasi yang telah dirintis founding fathers Amerika seperti Thomas Jefferson menguap di tangan pemimpin Amerika saat ini yang “idiot”.
Kamis lalu (27/3), Ulil Abshar Abdalla dari Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) mewawancarai Prof. Dr. Nurcholish Madjid, atau akrab dipanggil Cak Nur, yang ikut serta dalam rombongan bersama dengan tokoh-tokoh agama Indonesia berkeliling Eropa dan Australia, diantaranya menemui Paus Yohanes Paulus II, untuk menentang Perang yang dikomandani Amerika Serikat. Berikut petikannya:
Cak Nur, bagaimana komentar Cak Nur terhadap invasi Amerika dan Inggris terhadap Irak?
Sekalipun invasi ini sudah bisa diduga sebelumnya, bahwa Amerika akan tetap memilih tindakan unilateral dengan mengabaikan PBB, toh agresi ini tetap mengejutkan. Meski opini dunia sedemikian kuat menentang serangan terhadap Irak, ternyata Presiden Goerge W. Bush tetap melanjutkan agendanya. Memang mengejutkan, dalam arti yang sangat buruk.
Kita tahu, agresi Amerika ini tidak hanya membuat berang banyak negara muslim, tapi juga menyinggung beberapa negara Eropa. Apakah ini menjadi indikasi terbelahnya dunia?
Ada kecenderungan ke sana, sekalipun tidak terlalu terang. Sebab kita tahu bahwa pendukung Amerika, selain orang-orang yang disebut Anglo-Saxon atau bangsa-bangsa yang berbahasa Inggris seperti Amerika sendiri, kerajaan Inggris dan Australia, (invasi itu) juga melibatkan Spanyol dan Portugal yang sama sekali tidak termasuk Anglo-Saxon.
Tapi adalah kenyataan bahwa pandangan yang sangat keras justru datang dari negara-negara seperti Perancis, Jerman, Rusia dan Cina. Tesis “setelah Uni soviet runtuh akan terwujud semacam dikotomi antara Barat dan lain-lainnya”, sekarang bergeser menjadi “Barat —yang hanya diwakili Amerika— melawan banyak negara. Mungkin, pertentangan atau perlawanan itu dalam bentuk yang lebih lunak, yaitu nurani dan pikiran sehat atau common sense. Tapi dalam konteks ini, Amerika betul-betul sudah menghadapi seluruh dunia; Amerika melawan semua, bahkan melawan rakyatnya sendiri.
Dulu Amerika dipuja-puja Alexis de Tocqueville sebagai sumber inspirasi bagi demokrasi. Nyatanya, Bush tak mau mendengar aspirasi rakyatnya sendiri. Tanggapan Cak Nur?
Kalau Anda menyebut Alexis de Tocqueville, justru dia sendiri yang mengatakan bahwa dari sisi lain yang terjadi di Amerika bukan demokrasi, tapi diktator mayoritas. Sebab pemenang (dalam pemilu) mengambil posisi mayoritas atau the winner takes all. Jadi karena sekarang Partai Republik yang berkuasa, maka semuanya hanya tergantung pada Republik, sekalipun selisih perolehan suara antara Partai Republik dengan Partai Demokrat betul-betul menjadi sumber problem.
Kita ingat, dari sisi popular vote, Bush kalah jauh dibanding Al Gore. Dia itu (Bush) ‘kan hanya menang dari sisi electoral vote. Itu pun hanya dengan cara memanipulasi wilayah Florida yang gubernurnya adalah adik Bush sendiri. Jadi kemenangan Bush pada pemilu tahun 2000 ada unsur KKN.
Bush adalah presiden yang penuh masalah. Di Amerika sendiri, orang-orang sudah biasa mengatakan bahwa Bush adalah orang yang –-kasarnya— idiot. Atau, dalam bahasa Nelson Mandela, “Bush adalah orang yang tidak bisa berpikir teratur”. Bush juga ada unsur mindernya.
Daniel S. Lev pada wawancara dengan kami minggu lalu mengatakan bahwa Bush bukan orang yang berpikir canggih?
Ya, itu bahasa yang lebih halus. Tapi kalangan akademisi, di lingkungan universitas di Amerika, justru tidak begitu kasihan pada Bush. Mereka tak sungkan-sungkan mengatakan Bush itu idiot. Tingkah laku Bush mencerminkan pola tindakan yang overkompensasi dan overconfident (percaya diri yang berlebihan). Dia seolah-olah mau meyakinkan dirinya sendiri dan orang lain, bahwa dia adalah orang yang hebat, tidak punya masalah dalam pemilu yang lalu. Dengan begitu, dia punya target ke depan, yakni pemilu tahun 2004 akan terpilih lagi menjadi presiden secara valid. Nampaknya begitu kalau dilihat dari pribadi Bush. Dalam kasus Bush ini, sebuah negara adikuasa, sangat konyol sekali kalau di belakangnya dikuasai oleh orang idiot.
Bukankan itu sebentuk paradoks demokrasi seperti yang diramalkan Socrates; bahwa demokrasi bisa mendudukkan orang bodoh sebagai pemimpin? Bukankah ini pula yang dikritik Al-Maududi atas demokrasi?
Memang betul. Dan (kasus seperti ini) tidak hanya sekali ini saja. Hanya saja, yang perlu dipertanyakan juga, apakah alternatifnya tidak melahirkan hal seperti itu juga seperti kasus Raja Nero, sang penguasa Roma itu. Dia orang yang berpenyakit epilepsi, tapi hanya karena keturunan raja, dia punya legitimasi geneologis untuk menjadi raja. Jadi dari segi itu pun tak ada yang selamat.
Perlu diingat, Amerika tidak hanya sekali ini saja mempunyai presiden yang lembek. Dulu misalnya, Amerika punya presiden yang buta huruf: Lyndon B. Johnson. Tapi begitulah. Ada pikiran yang konyol sekali kalau kita kembali ke Indonesia. Pemikiran yang berkembang sekarang mengatakan kalau presiden harus seorang akademikus atau minimal S1. Mana ada (prasyarat seperti itu) di dunia ini. Orang yang buta huruf sekalipun, kalau dipilih rakyat, akan bisa jadi presiden.
Kembali ke soal perang. Apa alasan terkuat Anda menolak perang ini?
Begini, ya. Memang ada gradasi, urutan-urutan (dalam hal ini); ada tinggi-rendah. Alasan yang paling tinggi adalah melawan kecenderungan unilateralisme dari sebuah negara, yaitu Amerika Serikat, yang kini menjadi satu-satunya negara adikuasa. Akibatnya, dunia sekarang menjadi unipolar, berkutub satu. Ini berbahaya sekali kalau kita lihat dari frase bahwa “kekuasaan akan cenderung untuk curang; dan kekuasaan yang mutlak akan cenderung curang secara mutlak pula”. Biasanya, frase ini dilihat pada level nasional. Tapi sebetulnya pada level global-internasional, frase power tends to corrupt juga terjadi.
Amerika kini sedang berkuasa dan kekuasaannya pasti curang. Maka dari itu, kalau pada level nasional dibutuhkan mekanisme check and balance, pengontrolan dan pengawasan, maka demikian juga halnya pada level internasional. Amerika tidak boleh dibiarkan tanpa oposisi.
Amerika selalu menganggap aksinya dilandasi tujuan yang mulia, yakni membebaskan rakyat Irak dari tirani Saddam Hussein. Bagaimana Cak Nur melihat hal ini?
Kalau itikad baik seperti itu setiap orang kan selalu punya klaim serupa. Karena itu, sering saya kemukakan, bahwa masalah-masalah bersama, seperti persoalan masyarakat, negara dan lain-lain tidak bisa dipertaruhkan pada itikad baik pribadi saja. Itikad baik saja tidak cukup. Itu harus disertai dengan mekanisme pengawasan. Dengan ngaji sedikit, dalam surat Al-‘Ashr ‘kan dikatakan kalau iman dan amal saleh saja tidak cukup. Harus ada tawâshu bil-haq (saling menegur dengan metode yang legal, Red); harus ada check and balance. Sebab perasaan berbuat baik itu natural sekali. Setiap orang merasa berbuat baik. Tapi, itu ‘kan harus dibuktikan melalui konteks yang spesial; melalui mekanisme check and balance itu.
Cak Nur, dunia kita kini terlanjur sudah unipolar, tidak ada check and balance lagi. Nah, bagaimana menghadapi dunia seperti ini?
Pertama, karena check and balance ini adalah hukum alam dalam kehidupan sosial manusia, ini berarti (kondisi check and balance itu) pasti akan muncul suatu saat. Yang kedua, kesan unipolar tersebut hanya diukur dari kekuatan lahiriah; kekuatan militer, ekonomi dan lain-lain. Dari sudut itu, Amerika memang paling dominan. Tapi kalau dilihat dari segi yang lebih lunak, yang sebetulnya lebih universal, yaitu hati nurani, Amerika sebetulnya sudah di-check; sudah terkena check seluruh dunia yang diwakili oleh berbagai elemen, sampai kalangan gereja sekalipun. Pendulum pasti segera bergerak ke arah keseimbangan.
Yang memperingatkan Bush itu ‘kan Sri Paus, pemimpin tertinggi Gereja Katolik sedunia. Gereja Protestan juga terlibat dalam hal ini. Malahan di Amerika, NCC (National Council of Churches) atau Dewan Gereja Amerika juga menentang perang ini. Bahkan Sri Paus akan ke Irak menjelang serangan ke Baghdad kemarin. Tapi karena pertimbangan resikonya, apalagi kesehatan pribadi Sri Paus juga sangat mundur, rencana itu tidak terlaksana.
Beberapa waktu lalu Anda berkunjung ke Roma bersama tokoh-tokoh lintas agama. Apa yang dikatakan Sri Paus ketika itu?
Ya. Dia telah siap dengan statemen yang sudah diketik, sudah dicetak. Artinya dia sudah punya pendirian yang mantap, dan pendiriannya itu sama dan sejalan dengan kita (menolak invasi militer ke Irak). Ini bukan karena dia menyesuaikan diri dengan kita, ataupun kita menyesuaikan diri dengan Sri Paus, tapi memang hampir-hampir secara apriori kita satu sikap. Itu juga yang membuat kita senang sekali bertemu dengan Sri Paus.
Foto rombongan Indonesia saat di Vatikan disebarluaskan di sini, Cak Nur.
Ya. Saya sangat senang sekali. Kabarnya, foto tersebut disebarluaskan ke seluruh negara karena Gereja Vatikan punya percetakan yang kemudian foto yang menampilkan Ketua Umum NU, PP Muhammadiyah, dan tokoh-tokoh agama lain itu disebarkan.
Bagaimana Anda melihat respons dunia Islam atas perang ini, terutama Indonesia? Apakah Anda khawatir perang ini dilihat sebagai perang agama?
Ya. Memang mengkhawatirkan. Padahal, ini ‘kan betul-betul perang atas pertimbangan duniawi. Akan tetapi, dampak ilahiahnya bisa lebih prinsipil. Artinya, kalau sebuah negara adikuasa melakukan tindakan unilateral, hasilnya adalah ketidakadilan. Kalau yang muncul sudah soal ketidakadilan, ini ‘kan sudah bukan semata persoalan duniawi.
Kemudian kalau penolakan atas perang itu pada level turun sedikit ke bawah, maka alangkah rusaknya jika sebuah negara adikuasa begitu saja mengklaim mendapat lisensi dan legitimasi untuk melakukan agresi ataupun intervensi ke negara lain yang lebih lemah. Tatanan dunia akan hancur. Dan justru, Amerikalah yang disinyalir Alexis de Tocqueville, tokoh yang Anda sebutkan tadi, yang menjadi penghancur itu. Sebetulnya, demokrasi itu semacam garansi untuk terwujudnya kebebasan dan ketertiban. Nah, dengan tindakan Amerika ini, balance atau keseimbangan itu tidak ada; yang ada hanyalah pemaksaan dan penaklukan.
Banyak orang mengatakan kalau demokrasi hanya relevan untuk politik dalam negeri sebagai perimbangan kekuasaan.Tapi tidak pas dalam konteks regulasi Bagaimana Anda melihat ini?
Itu memang betul. Tapi perimbangan kekuasaan itu sendiri ‘kan suatu wujud atau ide lain dari demokrasi. Makanya, salah satu jargon yang sangat relevan untuk demokrasi adalah adanya kekuatan check and balance itu sendiri. Salah satu wujudnya adalah pers bebas, berpikir bebas, kebebasan sipil atau civil liberties. Kebebasan berpendapat, berserikat dan berkumpul, ‘kan termasuk di situ.
Nah, pada level dunia, seharusnya seperti itu. Itu diwujudkan dengan adanya balance of power politic, politik perimbangan kekuatan. Memang sayang sekali, orang tergesa-gesa menganggap teori ini, –yang sebetulnya sudah cukup lama ini, sejak tahun 1950-an— sebagai off-solid. Tapi dengan bukti bahwa Amerika yang sekarang mengalami sindrom sebagai penguasa tunggal, maka prinsip check and balance itu menjadi penting. Maka dari itu, ketika orang tidak bisa melawan Amerika dengan senjata, –sejalan hierarki bentuk perjuangan menangkal kemungkaran; kalau tak mampu dengan senjata, maka dengan tangan. Yang bisa kita lakukan adalah sekarang kita berdemo semua.
Negara-negara seperti Prancis, Jerman, Rusia dan Cina, sebetulnya merupakan contoh terbaik akan kemungkinan oposisi. Dan oposisi lunak seperti di hati nurani para demonstran yang kita saksikan kini, juga bisa ditingkatkan menjadi oposisi yang lebih hard, keras. Keras bukan dalam artian violence atau kekerasan, tapi dalam pengertian ada perangkat keras dan lunak itu. Artinya bagaimana agar punya pengaruh yang lebih besar.
Nyatanya demonstrasi di seluruh belahan dunia tidak dihiraukan Bush?
Memang sekeras-kerasnya oposisi atas Amerika, meski diwakili negara-negara seperti Perancis, Jerman, Rusia dan Cina, tetap saja –dari segi ekonomi– sangat jauh keseimbangannya. Sebab, ekonomi dunia ini, ‘kan 40 persen masih di tangan Amerika. Anggaran belanja pertahanan atau militer Amerika, masih lebih besar dari anggaran militer seluruh negara di dunia. Jadi ini memang tidak seimbang. Oleh sebab itu, sebetulnya yang menjadi taruhan adalah oposisi hati nurani itu (dalam bentuk demonstrasi).
Kalau begitu, memang ini persoalan dunia yang jomplang, Cak Nur?
Ya, jomplang. Tapi tunggu saja, –karena saya percaya dengan sunnatullah– akan muncul nantinya pendulum balik. Pasti, pasti akan ada pendulum balik, dan itu sudah hukum Tuhan untuk semua umat manusia. Misalnya, dengan sedikit ngaji, ketika Daud berhasil merebut Yerusalem dengan membunuh Jalut (David versus Goliat), dalam Alquran dipaparkan -–pada akhir ayatnya– tentang hukum umum mengenai sejarah umat manusia. Hukum umum itu yaitu: “Kalau seandainya Tuhan tidak menolak manusia dengan manusia lain, maka hancurlah dunia. Tapi Tuhan mempunyai belas kasihan yang besar sekali pada seluruh alam.” Jadi, salah satu perlindungan Tuhan, kasih Tuhan pada umat manusia adalah adanya mekanisme checking and balancing, adanya perimbangan kekuasaan.
Mengapa kita sekarang tidak mengalami kiamat nuklir, padahal nuklir begitu dahsyatnya, dan pada tingkat yang primitif saja mampu menghancurkan Nagasaki dan Hiroshima. Karena, begitu Amerika sudah membuat bom nuklir, ada saja yang membocorkan ke Rusia, kemudian terjadi eskalasi atau perlombaan, sehingga –ketika sampai pada suatu titik– masing-masing pihak tidak berani menggunakannya lebih awal. Itu ‘kan check and balance. Jadi dengan begitu dunia jadi selamat.
Nah, itulah yang harus kita bayangkan tentang dunia yang akan datang. Setelah Amerika dibiarkan tanpa kontrol seperti sekarang ini, dia akan menjadi Durno yang adigang-adigung-adiguno.
Cak Nur, kemarin meruak isu sweeping atas warga asing. Isu ini seolah memanipulasi isu Irak untuk tindakan xenophobia. Bagaimana menyikapi hal ini?
Itu jelas suatu tindakan yang tidak benar. Mereka (orang asing) ‘kan orang yang tidak bersalah, mengapa harus menjadi korban? Itu jelas-jelas tidak benar. Kita kembali lagilah kepada akhlak perang yang diajarkan Nabi Saw kita, termasuk para sahabat. Kalau mereka mengirim ekspedisi, selalu saja ada pesan: jangan membunuh wanita, anak-anak; jangan mengganggu orang tua; jangan merusak bangunan; jangan memotong pohon; jangan memotong binatang kecuali kalau di makan. Prinsip akhlak perang itu tetap harus berlaku. Nah, kalau kita sekarang melakukan aksi sweeping, di mana letak etikanya?
Dalam bahasa kita sekarang: “Jangan menyerang kalangan nonkombatan?”
Ya. Juga termasuk di situ larangan tindak pengrusakan, entah mobil atau bangunan. Itu justru yang paling dilarang dalam Islam. Itu haram! Merusak harta benda itu haram, harta-benda siapapun juga. Karena itu, ketika Nabi masuk Mekkah, dia tampil sebagai manusia agung. Musuh-musuhnya yang dulunya begitu bengis, dia maafkan begitu saja. Mereka dibebaskan. “Antum thulaqâ’ (kalian bebas), “kata Nabi. Yang mendapat amnesti itu termasuk Abu Sufyan yang pernah menjadi musuh bebuyutan Nabi.
Dalam sejarah selanjutnya, ketika para sahabat melakuakan ekspansi ke mana-mana, aksi ekspansi itu selalu disebut pembebasan, al-fath; bukan penaklukan, al-qahr. Kita mengenal istilah fath fâris, fathus syâm, fath misr. Dan memang, sejarah membuktikan kalau di mana-mana mereka membebaskan. Itulah kekuatan Islam. Jadi, kekuatan Islam itu melalui percontohan.
Kita tahu rezim Saddam bukan rezim yang baik, sebagaimana perang atas Irak juga bukan perang yang baik. Bagaimana melihat perang atas Irak ini secara proporsional?
Tadi dari semula saya menyebut adanya hierarki atas-bawah dalam hal ini. Hierarki yang paling tinggi, perang yang dalam hal ini diwakili Amerika, adalah tindakan unilateralisme pada tingkat global oleh sebuah negara adikuasa, yang kini sedang mengalami sindrom sebagai penguasa tunggal. Hierarki yang kedua, ini adalah invasi sebuah negara besar dan kuat, terhadap negara kecil yang merupakan negara berdaulat (sovereign nation state). Yang ketiga, betul bahwa Saddam Husein adalah seorang diktator dalam makna yang paling buruk. Barangkali, di muka bumi ini tak ada diktator yang lebih buruk dari Saddam. Tapi masalahnya, apakah negara lain dibenarkan ikut campur dalam urusan dalam negeri suatu negara untuk membebaskan rakyatnya dari kediktatoran, dengan cara-cara yang jauh lebih merusak nilai-nilai kemanusiaan?
Memang terkadang tujuan menghalalkan cara, tapi lantas apa yang menghalalkan tujuan? Ya cara itu sendiri ‘kan? Jadi kalau caranya salah, tujuannya juga ikut hancur. Taruhlah Bush punya tujuan baik seperti yang dia klaim, tapi dengan cara seperti itu, justru jadi hancur semua. Dengan begitu, dia mengalami invalidated, ketidakabsahan.
Klaim Bush kini, seolah mengingatkan kita akan Thariq bin Ziyad ketika memasuki Spanyol. Ketika itu, pasukan Islam juga punya klaim to free the people. Tanggapan Anda?
Betul, memang. Tapi ‘kan sangat damai dan disambut oleh orang-orang Spanyol sendiri. Makanya, dengan tentara yang jumlahnya kecil sekali, di mana-mana mereka menang. Itu tak lain karena di mana-mana mereka disambut baik.
Beberapa polling di koran-koran Arab tak percaya seratus persen kalau invasi Amerika ke Irak ini untuk membebaskan rakyat Irak. Tanggapan Anda?
Tidak, memang tidak untuk membebaskan kok. Jadi, cara Bush memang sudah menghancurkan tujuannya. Karena, sekarang yang muncul adalah potret Saddamisme yang jauh lebih berbahaya, yaitu Bush, the man of Bush, dan the Bush man itu sendiri.
Amerika berdalih sulit melakukan perubahan atas rezim tiranik di Irak?
Ya. Sebetulnya apa yang terjadi pada Bung Karno dan Pak Harto itu ‘kan, sebetulnya masalah menunggu waktu saja. Akan ada pembusukan dari dalam. Apa yang terjadi pada Shah Iran? Coba bayangkan, sekarang ini kenyatannya terbalik sama sekali. Dulu, Shah Iran dipertahankan oleh Amerika. Ketika rakyat menginginkan regime change, Amerika menolak. Waktu itu Amerika tidak berbuat apa-apa; jantung hatinya itu akhirnya hancur juga. Jadi masalah waktu saja. Saddam Husein ini juga menunggu waktu saja.
Washington sering mengklaim, kalau invasi atas Irak merupakan entry-point untuk melakukan reformasi yang lebih luas di kawasan Timur Tengah. Bagaimana pandangan Cak Nur?
Ah, itu omong kosong! Kalau soal itikad yang dikatakan secara verbal, sebetulnya yang jauh lebih bermakna adalah Perjanjian Camp David antara Jimmy Carter dengan Israel dan Palestina. Itu perjanjian yang bagus sekali. Kalau itu saja dilaksanakan, beres semua. Tapi ‘kan setiap langkah Palestina melaksanakan isinya, Israel menghalangi. Terus saja seperti itu. Jadi, Israel itu sebetulnya diam-diam tidak mau problem dengan Palestina selesai. Sebab target mereka, apalagi kalau bukan go to Yesra’El yang meliputi Syria, Yordania, bahkan sampai ke Madinah. Begitu pandangan kalangan Yahudi fundamentalis.
Artinya, mereka hendak kembali ke geografi ala Alkitab?
Ya. Israel ini adalah sebuah negara yang berdasarkan atas agama. Ironisnya, dia justeru ditopang oleh negara-negara yang –katanya– menolak agama. Kan gendheng itu?!
Beberapa negara Timur Tengah mendukung aksi Amerika ini. Bagaimana dengan soal ini?
Itu tadi. Pada level atau hierarki yang agak rendah. Jadi kalau kita bikin urutan pertama-kedua-ketiga, mungkin ini ada pada level keempat. Yaitu karena alasan takut pada Saddam Husein. Jadi itu saja. Sebab Saddam ini diktator yang paling buruk di muka bumi ini. Bayangkan saja, dulu ketika Iran dalam keadaan lemah, Saddam menusuk dari belakang. Kemudian Kuwait juga diinvasi pada tahun 1990.
Beberapa versi menyebut tindakan Irak itu juga karena provokasi Amerika?
Ya, memang ada tafsiran seperti itu, boleh sajalah. Tapi ‘kan tetap menjadi pertanyaan: kenapa bisa diprovokasi kalau tidak ada bibit (penaklukan) dalam diri Saddam sendiri? Kalau dia punya kesadaran yang tinggi bahwa Iran harus didukung karena sama-sama punya target untuk menghancurkan musuh bersama, entah apa saja, entah Israel atau apapun, sebetulnya dia ‘kan bisa mendahulukan pertimbangan itu? Ini malah bermusuhan dan mencamplok negara Arab lainnya. Begitu kan?!
Apa yang ingin Cak Nur katakan untuk menutup perbincangan kita?
Dunia ini memang penuh ketidakadilan. Keadilan itu adalah hukum Tuhan bagi tegaknya keamanan, baik pada level nasional maupun dunia. Ibnu Taymiyyah terkenal dengan kutipannya atas Ali yang mengatakan: inna AlLâh yuqîmud daulatal ‘âdilah wain kânat kâfirah, walâ yuqîmud daulatadz dzâlimah wain kânat muslimah. Jadi, Allah akan tetap mendukung negara yang adil sekalipun kafir, dan tidak mendukug negara yang zalim, sekalipun berislam. Juga, ad-dunyâ tadûm ma‘al ‘adl wal kufr, walâ tadûm ma‘adz dzulm wal Islâm. Dunia akan bertahan asal adil, meskipun berada dalam kekafiran, dan tidak akan bertahan salam kezaliman meskipun disertai Islam. Ini adalah hukum yang betul-betul objektif []
^ Kembali ke atas
Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=14
Prof. Dr. Nurcholish Madjid
Omong Kosong Bush Membebaskan Rakyat Irak
30/03/2003
Invasi Amerika Serikat ke Irak pekan lalu telah menghilangkan aset Amerika yang paling berharga, yakni demokrasi dan HAM. Amerika telah kehilangan legitimasi sebagai kampiun demokrasi. Prinsip-prinsip demokrasi yang telah dirintis founding fathers Amerika seperti Thomas Jefferson menguap di tangan pemimpin Amerika saat ini yang “idiot”.
Kamis lalu (27/3), Ulil Abshar Abdalla dari Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) mewawancarai Prof. Dr. Nurcholish Madjid, atau akrab dipanggil Cak Nur, yang ikut serta dalam rombongan bersama dengan tokoh-tokoh agama Indonesia berkeliling Eropa dan Australia, diantaranya menemui Paus Yohanes Paulus II, untuk menentang Perang yang dikomandani Amerika Serikat. Berikut petikannya:
Cak Nur, bagaimana komentar Cak Nur terhadap invasi Amerika dan Inggris terhadap Irak?
Sekalipun invasi ini sudah bisa diduga sebelumnya, bahwa Amerika akan tetap memilih tindakan unilateral dengan mengabaikan PBB, toh agresi ini tetap mengejutkan. Meski opini dunia sedemikian kuat menentang serangan terhadap Irak, ternyata Presiden Goerge W. Bush tetap melanjutkan agendanya. Memang mengejutkan, dalam arti yang sangat buruk.
Kita tahu, agresi Amerika ini tidak hanya membuat berang banyak negara muslim, tapi juga menyinggung beberapa negara Eropa. Apakah ini menjadi indikasi terbelahnya dunia?
Ada kecenderungan ke sana, sekalipun tidak terlalu terang. Sebab kita tahu bahwa pendukung Amerika, selain orang-orang yang disebut Anglo-Saxon atau bangsa-bangsa yang berbahasa Inggris seperti Amerika sendiri, kerajaan Inggris dan Australia, (invasi itu) juga melibatkan Spanyol dan Portugal yang sama sekali tidak termasuk Anglo-Saxon.
Tapi adalah kenyataan bahwa pandangan yang sangat keras justru datang dari negara-negara seperti Perancis, Jerman, Rusia dan Cina. Tesis “setelah Uni soviet runtuh akan terwujud semacam dikotomi antara Barat dan lain-lainnya”, sekarang bergeser menjadi “Barat —yang hanya diwakili Amerika— melawan banyak negara. Mungkin, pertentangan atau perlawanan itu dalam bentuk yang lebih lunak, yaitu nurani dan pikiran sehat atau common sense. Tapi dalam konteks ini, Amerika betul-betul sudah menghadapi seluruh dunia; Amerika melawan semua, bahkan melawan rakyatnya sendiri.
Dulu Amerika dipuja-puja Alexis de Tocqueville sebagai sumber inspirasi bagi demokrasi. Nyatanya, Bush tak mau mendengar aspirasi rakyatnya sendiri. Tanggapan Cak Nur?
Kalau Anda menyebut Alexis de Tocqueville, justru dia sendiri yang mengatakan bahwa dari sisi lain yang terjadi di Amerika bukan demokrasi, tapi diktator mayoritas. Sebab pemenang (dalam pemilu) mengambil posisi mayoritas atau the winner takes all. Jadi karena sekarang Partai Republik yang berkuasa, maka semuanya hanya tergantung pada Republik, sekalipun selisih perolehan suara antara Partai Republik dengan Partai Demokrat betul-betul menjadi sumber problem.
Kita ingat, dari sisi popular vote, Bush kalah jauh dibanding Al Gore. Dia itu (Bush) ‘kan hanya menang dari sisi electoral vote. Itu pun hanya dengan cara memanipulasi wilayah Florida yang gubernurnya adalah adik Bush sendiri. Jadi kemenangan Bush pada pemilu tahun 2000 ada unsur KKN.
Bush adalah presiden yang penuh masalah. Di Amerika sendiri, orang-orang sudah biasa mengatakan bahwa Bush adalah orang yang –-kasarnya— idiot. Atau, dalam bahasa Nelson Mandela, “Bush adalah orang yang tidak bisa berpikir teratur”. Bush juga ada unsur mindernya.
Daniel S. Lev pada wawancara dengan kami minggu lalu mengatakan bahwa Bush bukan orang yang berpikir canggih?
Ya, itu bahasa yang lebih halus. Tapi kalangan akademisi, di lingkungan universitas di Amerika, justru tidak begitu kasihan pada Bush. Mereka tak sungkan-sungkan mengatakan Bush itu idiot. Tingkah laku Bush mencerminkan pola tindakan yang overkompensasi dan overconfident (percaya diri yang berlebihan). Dia seolah-olah mau meyakinkan dirinya sendiri dan orang lain, bahwa dia adalah orang yang hebat, tidak punya masalah dalam pemilu yang lalu. Dengan begitu, dia punya target ke depan, yakni pemilu tahun 2004 akan terpilih lagi menjadi presiden secara valid. Nampaknya begitu kalau dilihat dari pribadi Bush. Dalam kasus Bush ini, sebuah negara adikuasa, sangat konyol sekali kalau di belakangnya dikuasai oleh orang idiot.
Bukankan itu sebentuk paradoks demokrasi seperti yang diramalkan Socrates; bahwa demokrasi bisa mendudukkan orang bodoh sebagai pemimpin? Bukankah ini pula yang dikritik Al-Maududi atas demokrasi?
Memang betul. Dan (kasus seperti ini) tidak hanya sekali ini saja. Hanya saja, yang perlu dipertanyakan juga, apakah alternatifnya tidak melahirkan hal seperti itu juga seperti kasus Raja Nero, sang penguasa Roma itu. Dia orang yang berpenyakit epilepsi, tapi hanya karena keturunan raja, dia punya legitimasi geneologis untuk menjadi raja. Jadi dari segi itu pun tak ada yang selamat.
Perlu diingat, Amerika tidak hanya sekali ini saja mempunyai presiden yang lembek. Dulu misalnya, Amerika punya presiden yang buta huruf: Lyndon B. Johnson. Tapi begitulah. Ada pikiran yang konyol sekali kalau kita kembali ke Indonesia. Pemikiran yang berkembang sekarang mengatakan kalau presiden harus seorang akademikus atau minimal S1. Mana ada (prasyarat seperti itu) di dunia ini. Orang yang buta huruf sekalipun, kalau dipilih rakyat, akan bisa jadi presiden.
Kembali ke soal perang. Apa alasan terkuat Anda menolak perang ini?
Begini, ya. Memang ada gradasi, urutan-urutan (dalam hal ini); ada tinggi-rendah. Alasan yang paling tinggi adalah melawan kecenderungan unilateralisme dari sebuah negara, yaitu Amerika Serikat, yang kini menjadi satu-satunya negara adikuasa. Akibatnya, dunia sekarang menjadi unipolar, berkutub satu. Ini berbahaya sekali kalau kita lihat dari frase bahwa “kekuasaan akan cenderung untuk curang; dan kekuasaan yang mutlak akan cenderung curang secara mutlak pula”. Biasanya, frase ini dilihat pada level nasional. Tapi sebetulnya pada level global-internasional, frase power tends to corrupt juga terjadi.
Amerika kini sedang berkuasa dan kekuasaannya pasti curang. Maka dari itu, kalau pada level nasional dibutuhkan mekanisme check and balance, pengontrolan dan pengawasan, maka demikian juga halnya pada level internasional. Amerika tidak boleh dibiarkan tanpa oposisi.
Amerika selalu menganggap aksinya dilandasi tujuan yang mulia, yakni membebaskan rakyat Irak dari tirani Saddam Hussein. Bagaimana Cak Nur melihat hal ini?
Kalau itikad baik seperti itu setiap orang kan selalu punya klaim serupa. Karena itu, sering saya kemukakan, bahwa masalah-masalah bersama, seperti persoalan masyarakat, negara dan lain-lain tidak bisa dipertaruhkan pada itikad baik pribadi saja. Itikad baik saja tidak cukup. Itu harus disertai dengan mekanisme pengawasan. Dengan ngaji sedikit, dalam surat Al-‘Ashr ‘kan dikatakan kalau iman dan amal saleh saja tidak cukup. Harus ada tawâshu bil-haq (saling menegur dengan metode yang legal, Red); harus ada check and balance. Sebab perasaan berbuat baik itu natural sekali. Setiap orang merasa berbuat baik. Tapi, itu ‘kan harus dibuktikan melalui konteks yang spesial; melalui mekanisme check and balance itu.
Cak Nur, dunia kita kini terlanjur sudah unipolar, tidak ada check and balance lagi. Nah, bagaimana menghadapi dunia seperti ini?
Pertama, karena check and balance ini adalah hukum alam dalam kehidupan sosial manusia, ini berarti (kondisi check and balance itu) pasti akan muncul suatu saat. Yang kedua, kesan unipolar tersebut hanya diukur dari kekuatan lahiriah; kekuatan militer, ekonomi dan lain-lain. Dari sudut itu, Amerika memang paling dominan. Tapi kalau dilihat dari segi yang lebih lunak, yang sebetulnya lebih universal, yaitu hati nurani, Amerika sebetulnya sudah di-check; sudah terkena check seluruh dunia yang diwakili oleh berbagai elemen, sampai kalangan gereja sekalipun. Pendulum pasti segera bergerak ke arah keseimbangan.
Yang memperingatkan Bush itu ‘kan Sri Paus, pemimpin tertinggi Gereja Katolik sedunia. Gereja Protestan juga terlibat dalam hal ini. Malahan di Amerika, NCC (National Council of Churches) atau Dewan Gereja Amerika juga menentang perang ini. Bahkan Sri Paus akan ke Irak menjelang serangan ke Baghdad kemarin. Tapi karena pertimbangan resikonya, apalagi kesehatan pribadi Sri Paus juga sangat mundur, rencana itu tidak terlaksana.
Beberapa waktu lalu Anda berkunjung ke Roma bersama tokoh-tokoh lintas agama. Apa yang dikatakan Sri Paus ketika itu?
Ya. Dia telah siap dengan statemen yang sudah diketik, sudah dicetak. Artinya dia sudah punya pendirian yang mantap, dan pendiriannya itu sama dan sejalan dengan kita (menolak invasi militer ke Irak). Ini bukan karena dia menyesuaikan diri dengan kita, ataupun kita menyesuaikan diri dengan Sri Paus, tapi memang hampir-hampir secara apriori kita satu sikap. Itu juga yang membuat kita senang sekali bertemu dengan Sri Paus.
Foto rombongan Indonesia saat di Vatikan disebarluaskan di sini, Cak Nur.
Ya. Saya sangat senang sekali. Kabarnya, foto tersebut disebarluaskan ke seluruh negara karena Gereja Vatikan punya percetakan yang kemudian foto yang menampilkan Ketua Umum NU, PP Muhammadiyah, dan tokoh-tokoh agama lain itu disebarkan.
Bagaimana Anda melihat respons dunia Islam atas perang ini, terutama Indonesia? Apakah Anda khawatir perang ini dilihat sebagai perang agama?
Ya. Memang mengkhawatirkan. Padahal, ini ‘kan betul-betul perang atas pertimbangan duniawi. Akan tetapi, dampak ilahiahnya bisa lebih prinsipil. Artinya, kalau sebuah negara adikuasa melakukan tindakan unilateral, hasilnya adalah ketidakadilan. Kalau yang muncul sudah soal ketidakadilan, ini ‘kan sudah bukan semata persoalan duniawi.
Kemudian kalau penolakan atas perang itu pada level turun sedikit ke bawah, maka alangkah rusaknya jika sebuah negara adikuasa begitu saja mengklaim mendapat lisensi dan legitimasi untuk melakukan agresi ataupun intervensi ke negara lain yang lebih lemah. Tatanan dunia akan hancur. Dan justru, Amerikalah yang disinyalir Alexis de Tocqueville, tokoh yang Anda sebutkan tadi, yang menjadi penghancur itu. Sebetulnya, demokrasi itu semacam garansi untuk terwujudnya kebebasan dan ketertiban. Nah, dengan tindakan Amerika ini, balance atau keseimbangan itu tidak ada; yang ada hanyalah pemaksaan dan penaklukan.
Banyak orang mengatakan kalau demokrasi hanya relevan untuk politik dalam negeri sebagai perimbangan kekuasaan.Tapi tidak pas dalam konteks regulasi Bagaimana Anda melihat ini?
Itu memang betul. Tapi perimbangan kekuasaan itu sendiri ‘kan suatu wujud atau ide lain dari demokrasi. Makanya, salah satu jargon yang sangat relevan untuk demokrasi adalah adanya kekuatan check and balance itu sendiri. Salah satu wujudnya adalah pers bebas, berpikir bebas, kebebasan sipil atau civil liberties. Kebebasan berpendapat, berserikat dan berkumpul, ‘kan termasuk di situ.
Nah, pada level dunia, seharusnya seperti itu. Itu diwujudkan dengan adanya balance of power politic, politik perimbangan kekuatan. Memang sayang sekali, orang tergesa-gesa menganggap teori ini, –yang sebetulnya sudah cukup lama ini, sejak tahun 1950-an— sebagai off-solid. Tapi dengan bukti bahwa Amerika yang sekarang mengalami sindrom sebagai penguasa tunggal, maka prinsip check and balance itu menjadi penting. Maka dari itu, ketika orang tidak bisa melawan Amerika dengan senjata, –sejalan hierarki bentuk perjuangan menangkal kemungkaran; kalau tak mampu dengan senjata, maka dengan tangan. Yang bisa kita lakukan adalah sekarang kita berdemo semua.
Negara-negara seperti Prancis, Jerman, Rusia dan Cina, sebetulnya merupakan contoh terbaik akan kemungkinan oposisi. Dan oposisi lunak seperti di hati nurani para demonstran yang kita saksikan kini, juga bisa ditingkatkan menjadi oposisi yang lebih hard, keras. Keras bukan dalam artian violence atau kekerasan, tapi dalam pengertian ada perangkat keras dan lunak itu. Artinya bagaimana agar punya pengaruh yang lebih besar.
Nyatanya demonstrasi di seluruh belahan dunia tidak dihiraukan Bush?
Memang sekeras-kerasnya oposisi atas Amerika, meski diwakili negara-negara seperti Perancis, Jerman, Rusia dan Cina, tetap saja –dari segi ekonomi– sangat jauh keseimbangannya. Sebab, ekonomi dunia ini, ‘kan 40 persen masih di tangan Amerika. Anggaran belanja pertahanan atau militer Amerika, masih lebih besar dari anggaran militer seluruh negara di dunia. Jadi ini memang tidak seimbang. Oleh sebab itu, sebetulnya yang menjadi taruhan adalah oposisi hati nurani itu (dalam bentuk demonstrasi).
Kalau begitu, memang ini persoalan dunia yang jomplang, Cak Nur?
Ya, jomplang. Tapi tunggu saja, –karena saya percaya dengan sunnatullah– akan muncul nantinya pendulum balik. Pasti, pasti akan ada pendulum balik, dan itu sudah hukum Tuhan untuk semua umat manusia. Misalnya, dengan sedikit ngaji, ketika Daud berhasil merebut Yerusalem dengan membunuh Jalut (David versus Goliat), dalam Alquran dipaparkan -–pada akhir ayatnya– tentang hukum umum mengenai sejarah umat manusia. Hukum umum itu yaitu: “Kalau seandainya Tuhan tidak menolak manusia dengan manusia lain, maka hancurlah dunia. Tapi Tuhan mempunyai belas kasihan yang besar sekali pada seluruh alam.” Jadi, salah satu perlindungan Tuhan, kasih Tuhan pada umat manusia adalah adanya mekanisme checking and balancing, adanya perimbangan kekuasaan.
Mengapa kita sekarang tidak mengalami kiamat nuklir, padahal nuklir begitu dahsyatnya, dan pada tingkat yang primitif saja mampu menghancurkan Nagasaki dan Hiroshima. Karena, begitu Amerika sudah membuat bom nuklir, ada saja yang membocorkan ke Rusia, kemudian terjadi eskalasi atau perlombaan, sehingga –ketika sampai pada suatu titik– masing-masing pihak tidak berani menggunakannya lebih awal. Itu ‘kan check and balance. Jadi dengan begitu dunia jadi selamat.
Nah, itulah yang harus kita bayangkan tentang dunia yang akan datang. Setelah Amerika dibiarkan tanpa kontrol seperti sekarang ini, dia akan menjadi Durno yang adigang-adigung-adiguno.
Cak Nur, kemarin meruak isu sweeping atas warga asing. Isu ini seolah memanipulasi isu Irak untuk tindakan xenophobia. Bagaimana menyikapi hal ini?
Itu jelas suatu tindakan yang tidak benar. Mereka (orang asing) ‘kan orang yang tidak bersalah, mengapa harus menjadi korban? Itu jelas-jelas tidak benar. Kita kembali lagilah kepada akhlak perang yang diajarkan Nabi Saw kita, termasuk para sahabat. Kalau mereka mengirim ekspedisi, selalu saja ada pesan: jangan membunuh wanita, anak-anak; jangan mengganggu orang tua; jangan merusak bangunan; jangan memotong pohon; jangan memotong binatang kecuali kalau di makan. Prinsip akhlak perang itu tetap harus berlaku. Nah, kalau kita sekarang melakukan aksi sweeping, di mana letak etikanya?
Dalam bahasa kita sekarang: “Jangan menyerang kalangan nonkombatan?”
Ya. Juga termasuk di situ larangan tindak pengrusakan, entah mobil atau bangunan. Itu justru yang paling dilarang dalam Islam. Itu haram! Merusak harta benda itu haram, harta-benda siapapun juga. Karena itu, ketika Nabi masuk Mekkah, dia tampil sebagai manusia agung. Musuh-musuhnya yang dulunya begitu bengis, dia maafkan begitu saja. Mereka dibebaskan. “Antum thulaqâ’ (kalian bebas), “kata Nabi. Yang mendapat amnesti itu termasuk Abu Sufyan yang pernah menjadi musuh bebuyutan Nabi.
Dalam sejarah selanjutnya, ketika para sahabat melakuakan ekspansi ke mana-mana, aksi ekspansi itu selalu disebut pembebasan, al-fath; bukan penaklukan, al-qahr. Kita mengenal istilah fath fâris, fathus syâm, fath misr. Dan memang, sejarah membuktikan kalau di mana-mana mereka membebaskan. Itulah kekuatan Islam. Jadi, kekuatan Islam itu melalui percontohan.
Kita tahu rezim Saddam bukan rezim yang baik, sebagaimana perang atas Irak juga bukan perang yang baik. Bagaimana melihat perang atas Irak ini secara proporsional?
Tadi dari semula saya menyebut adanya hierarki atas-bawah dalam hal ini. Hierarki yang paling tinggi, perang yang dalam hal ini diwakili Amerika, adalah tindakan unilateralisme pada tingkat global oleh sebuah negara adikuasa, yang kini sedang mengalami sindrom sebagai penguasa tunggal. Hierarki yang kedua, ini adalah invasi sebuah negara besar dan kuat, terhadap negara kecil yang merupakan negara berdaulat (sovereign nation state). Yang ketiga, betul bahwa Saddam Husein adalah seorang diktator dalam makna yang paling buruk. Barangkali, di muka bumi ini tak ada diktator yang lebih buruk dari Saddam. Tapi masalahnya, apakah negara lain dibenarkan ikut campur dalam urusan dalam negeri suatu negara untuk membebaskan rakyatnya dari kediktatoran, dengan cara-cara yang jauh lebih merusak nilai-nilai kemanusiaan?
Memang terkadang tujuan menghalalkan cara, tapi lantas apa yang menghalalkan tujuan? Ya cara itu sendiri ‘kan? Jadi kalau caranya salah, tujuannya juga ikut hancur. Taruhlah Bush punya tujuan baik seperti yang dia klaim, tapi dengan cara seperti itu, justru jadi hancur semua. Dengan begitu, dia mengalami invalidated, ketidakabsahan.
Klaim Bush kini, seolah mengingatkan kita akan Thariq bin Ziyad ketika memasuki Spanyol. Ketika itu, pasukan Islam juga punya klaim to free the people. Tanggapan Anda?
Betul, memang. Tapi ‘kan sangat damai dan disambut oleh orang-orang Spanyol sendiri. Makanya, dengan tentara yang jumlahnya kecil sekali, di mana-mana mereka menang. Itu tak lain karena di mana-mana mereka disambut baik.
Beberapa polling di koran-koran Arab tak percaya seratus persen kalau invasi Amerika ke Irak ini untuk membebaskan rakyat Irak. Tanggapan Anda?
Tidak, memang tidak untuk membebaskan kok. Jadi, cara Bush memang sudah menghancurkan tujuannya. Karena, sekarang yang muncul adalah potret Saddamisme yang jauh lebih berbahaya, yaitu Bush, the man of Bush, dan the Bush man itu sendiri.
Amerika berdalih sulit melakukan perubahan atas rezim tiranik di Irak?
Ya. Sebetulnya apa yang terjadi pada Bung Karno dan Pak Harto itu ‘kan, sebetulnya masalah menunggu waktu saja. Akan ada pembusukan dari dalam. Apa yang terjadi pada Shah Iran? Coba bayangkan, sekarang ini kenyatannya terbalik sama sekali. Dulu, Shah Iran dipertahankan oleh Amerika. Ketika rakyat menginginkan regime change, Amerika menolak. Waktu itu Amerika tidak berbuat apa-apa; jantung hatinya itu akhirnya hancur juga. Jadi masalah waktu saja. Saddam Husein ini juga menunggu waktu saja.
Washington sering mengklaim, kalau invasi atas Irak merupakan entry-point untuk melakukan reformasi yang lebih luas di kawasan Timur Tengah. Bagaimana pandangan Cak Nur?
Ah, itu omong kosong! Kalau soal itikad yang dikatakan secara verbal, sebetulnya yang jauh lebih bermakna adalah Perjanjian Camp David antara Jimmy Carter dengan Israel dan Palestina. Itu perjanjian yang bagus sekali. Kalau itu saja dilaksanakan, beres semua. Tapi ‘kan setiap langkah Palestina melaksanakan isinya, Israel menghalangi. Terus saja seperti itu. Jadi, Israel itu sebetulnya diam-diam tidak mau problem dengan Palestina selesai. Sebab target mereka, apalagi kalau bukan go to Yesra’El yang meliputi Syria, Yordania, bahkan sampai ke Madinah. Begitu pandangan kalangan Yahudi fundamentalis.
Artinya, mereka hendak kembali ke geografi ala Alkitab?
Ya. Israel ini adalah sebuah negara yang berdasarkan atas agama. Ironisnya, dia justeru ditopang oleh negara-negara yang –katanya– menolak agama. Kan gendheng itu?!
Beberapa negara Timur Tengah mendukung aksi Amerika ini. Bagaimana dengan soal ini?
Itu tadi. Pada level atau hierarki yang agak rendah. Jadi kalau kita bikin urutan pertama-kedua-ketiga, mungkin ini ada pada level keempat. Yaitu karena alasan takut pada Saddam Husein. Jadi itu saja. Sebab Saddam ini diktator yang paling buruk di muka bumi ini. Bayangkan saja, dulu ketika Iran dalam keadaan lemah, Saddam menusuk dari belakang. Kemudian Kuwait juga diinvasi pada tahun 1990.
Beberapa versi menyebut tindakan Irak itu juga karena provokasi Amerika?
Ya, memang ada tafsiran seperti itu, boleh sajalah. Tapi ‘kan tetap menjadi pertanyaan: kenapa bisa diprovokasi kalau tidak ada bibit (penaklukan) dalam diri Saddam sendiri? Kalau dia punya kesadaran yang tinggi bahwa Iran harus didukung karena sama-sama punya target untuk menghancurkan musuh bersama, entah apa saja, entah Israel atau apapun, sebetulnya dia ‘kan bisa mendahulukan pertimbangan itu? Ini malah bermusuhan dan mencamplok negara Arab lainnya. Begitu kan?!
Apa yang ingin Cak Nur katakan untuk menutup perbincangan kita?
Dunia ini memang penuh ketidakadilan. Keadilan itu adalah hukum Tuhan bagi tegaknya keamanan, baik pada level nasional maupun dunia. Ibnu Taymiyyah terkenal dengan kutipannya atas Ali yang mengatakan: inna AlLâh yuqîmud daulatal ‘âdilah wain kânat kâfirah, walâ yuqîmud daulatadz dzâlimah wain kânat muslimah. Jadi, Allah akan tetap mendukung negara yang adil sekalipun kafir, dan tidak mendukug negara yang zalim, sekalipun berislam. Juga, ad-dunyâ tadûm ma‘al ‘adl wal kufr, walâ tadûm ma‘adz dzulm wal Islâm. Dunia akan bertahan asal adil, meskipun berada dalam kekafiran, dan tidak akan bertahan salam kezaliman meskipun disertai Islam. Ini adalah hukum yang betul-betul objektif []
^ Kembali ke atas
Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=14