ANALISA KASUS TKI DI INDONESIA
ANALISA KASUS TKI DI INDONESIA
OLEH : EGA JALALUDIN, SH., MM
BAB I
MUKADDIMAH
A.
Latar Belakang Masalah
Sulitnya
memperoleh lapangan kerja saat ini menimbulkan berbagai dampak negatif pengangguran. Mulai dari kemiskinan, hilangnya rasa percaya diri,
stress dan lain-lain. Bahkan dalam skala besar, dampak negatif pengangguran
juga membebani perekonomian suatu negara.
Akibat
yang dirasakan tidak hanya pada angkatan kerja yang mengalami pengangguran. Dampak
negatif pengangguran bahkan mempengaruhi generasi di bawahnya. Kepala keluarga
yang tidak bekerja tentu sulit menghidupi keluarga terutama anaknya. Akibat
yang ditimbulkan bisa kekurangan gizi maupun putus sekolah.
-
Klasifikasi Pengangguran
Pengangguran sering diklasifikasikan sebagai
tidak bekerja maupun tidak bekerja secara optimal. Ada tiga bentuk pengangguran :
- Pengangguran Terbuka. Ditujukan pada angkatan kerja yang benar-benar memang tidak memiliki pekerjaan dan penghasilan. Padahal adakalanya mereka telah berusaha mencari pekerjaannamun sempitnya kesempatan yang ada memunculkan jenis pengangguran ini.
- Setengah Menganggur. Ditujukan pada seseorang yang nampaknya bekerja namun tidak optimal. Biasanya didasarkan pada jam kerja yang kurang dari semestinya. Ini bisa terjadi karena pekerjaan yang bisa dilakukan seseorang, harus dilakukan dua orang karena keterbatasan lapangan pekerjaan.
- Pengangguran Terselubung. Hampir sama dengan setengah menganggur. Hanya saja ini juga mencakup skill seseorang yang tidak sepadan dengan pekerjaan yang dilakukannya. Misalnya seorang sarjana yang terpaksa menjadi penjaga toko.
Dengan
melihat kondisi diatas, nampaknya menjadi salah satu alasan kenapa pemerintah
harus melakukan pengiriman Tenaga Kerja Indonesia, mengingat memang bahwa
kurang tersedianya lapangan kerja di Negara sendiri.
Bila melihat sejarah. Pengiriman tenaga kerja ke luar negeri sudah ada
pada tahun 1890. Pola perekrutan adalah menggunakan sistem kerja kontrak. Pola
tersebut masih ditemui pada saat ini. Perusahaan pengerah tenaga kerja
memperkerajkan tenaga kerja dengan sistem kontrak atau outsourching. Kini model
ini makin marak. Jumlah perusahaan pengerah tenaga kerja mencapai ratusan
perusahaan. Jumlah TKI yang dikirim mencapai jutaan orang.
Itu artinya persaingan. Persaingan akan melahirkan siapa yang paling
kuat, pintar, trampil dan mampu beradaptasi mudah mendapat pekerjaan. Tapi
sebaliknya makin banyak calon Tki yang terpinggirkan, kalah atau kurang
memenuhi syarat namun punya semangat tinggi untuk mencari penghidupan di negeri
lain lantaran desakan ekonomi. Kaum inilah yang rentan terhadap pelanggaran hak
asasi manusia.
Jauh sebelum Pemerintah Republik Indonesia mengirimkan Tenaga Kerja
Indonesia (TKI) ke Luar Negeri, Pemerintah Belanda pada tahun 1890 telah
mengirimkan 32.986 orang TKI asal pulau Jawa ke Suriname, suatu Negara
Jajajahan Belanda di Amerika Selatan. Tujuan pengiriman TKI itu adalah untuk
mengganti tugas para budak asal Afrika yang telah dibebaskan pada tanggal 1
Juli 1863.
Gelombang pertama pengiriman TKI i diberangkatkan dari Batavia pada 21
Mei 1890 dengan kapal SS Koningin Emma. Pelayaran jarak jauh ini singgah di
Negeri Belanda dan tiba di Suriname tanggal 9 Agustus 1890.
Jumlah TKI gelombang pertama ini sebanyak 94 orang, terdiri dari 61.
Gelombang kedua sebanyak 614 orang, tiba di Suriname pada tanggal 16 Juni 1894
dengan kapal SS Voorwarts.
Kegiatan pengiriman TKI ini berjalan terus sejak tahun 1890 s/d 1939
hingga jumlahnya mencapai 32.986 orang dengan menggunakan 77 buah kapal laut.
Dari tahun 1890 hingga tahun 1914. Rute pelayaran pengiriman TKI ke Suriname
selalu singgah di Negeri Belanda.[1]
Pola seperti itu saat ini makin mudah ditemui di sekitar kita. Kantong
pemasok buruh migran tidak lagi didominasi dari Jawa. Daerah lain di Indonesian
yang juga tanahnya kurang subur membuat warganya kabur dan memilih meninggalkan
kampung halaman. Contohnya adalah warga dari Flores. Kampung halaman yang
kurang subur menjadi pemicu warga untuk merantau.
Pengiriman buruh migran ke luar negeri telah memakan waktu cukup lama.
Seiring perjalanan waktu, pengiriman tenaga kerja migran selama sekian lama
hingga detik ini terlihat bahwa nasib mereka selama bekerja di luar negeri
selalau tersandung masalah.
Proses panjang pengiriman tenaga kerja ke luar negri meski telah
berlangsung lama namun masalah belum selesai. Itu semua karena motivasi pekerja
migran untuk memperbaiki kehidupan yang lebih bagus.
Mencari kesejahtraan keluar negeri meski dilalui dengan penuh rintangan,
pengorbanan dan air mata adalah pilihan yang ternyata masih diminati oleh
ribuan warga negera Indonesia yang berpenghasilan kecil.
Padahal pengiriman tenaga kerja ke luar negeri memiliki kaitan erat dengan harga diri suatu bangsa, dan politik luar negeri. Sayang, konsekwensi yang bersifat makro ini seringkali terabaikan manakala desakan-desakan ekonomi menjadi prioritas utama. Bahkan tidak ayal, bahwa Indonesia mengirimkan 300 orang TKI setiap harinya.[2]
Padahal pengiriman tenaga kerja ke luar negeri memiliki kaitan erat dengan harga diri suatu bangsa, dan politik luar negeri. Sayang, konsekwensi yang bersifat makro ini seringkali terabaikan manakala desakan-desakan ekonomi menjadi prioritas utama. Bahkan tidak ayal, bahwa Indonesia mengirimkan 300 orang TKI setiap harinya.[2]
Keadaan ekonomi masyarakat di negara-negara berkembang yang rendah dan
banyaknya warga yang tidak memeiliki pekerjaan (termasuk Indonesia) membuat
pengambil kebijakan di bidang ketenagakerjaan untuk mencari solusi cepat
mengatasi pengangguran. Salah satu solusi yang dipertahankan adalah pengiriman
tenaga kerja.
Masalah muncul ketika pengawas tenaga kerja lalai. Di lapangan justru
terjadi pengerahan TKI secara serampangan. Pekrutmen tenaga kerja yang
terburu-buru. Persiapan yang dilakukan dengan biaya murah tanpa mengindahkan
konsekuensi negatif yang mungkin timbul.
Banyaknya korban yang di alami TKI di luar negeri menunjukkan bahwa Para
pengusaha jasa tenaga kerja belum memberikan jaminan terhadap keselamatan TKI.
Sehingga trend yang muncul adalah perusahaan pengerah tenaga kerja hanya
mengejar profit semata.
Beberapa waktu yang lalu Negara kita pun dihebohkan dengan kasus yang
terjadi terhadap Sumiyati, salah seorang TKI asalah NTT yang mengalami
penyiksaan oleh majikannya di Arab Saudi (Madinah). Kasus ini sempat mencuat
dan membuat prihatin berbagai kalangan. Sampai-sampai beberapa saat setelah
kasus ini dilontarkan beberapa media, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
langsung memanggil 2 menterinya, diantaranya Menteri Luar Negeri, Menteri
Tenaga Kerja.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menginstruksikan untuk dibentuknya tim
khusus guna penyelesaian kasus penyiksaan Tenaga Kerja Wanita asal NTT Sumiati,
oleh majikannya di Arab Saudi.
"Saya menginstruksikan Menteri Luar
Negeri dan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk mengambil langkah yang
cepat dan tepat," Ungkap Presiden SBY, Selasa (16/11)[3]
Presiden juga meminta agar kasus Sumiati ditangani secara serius dengan
mengerahkan diplomasi serta meminta dibentuk tim khusus yang diberangkatkan ke
Arab Saudi guna memastikan TKI asal Dompu, Nusa Tenggara Timur (NTT) itu,
mendapatkan perawatan serta pengobatan yang terbaik.
Sementara itu Menteri Luar Negeri Marty
Natalegawa menjelaskan berdasarkan informasi dari Konsulat Jenderal Indonesia
di Madinah, kondisi Sumiati saat ini stabil namun mengalami luka fisik dan juga
luka dalam karena penganiyaan yang luar biasa.
"Pejabat Konsulat Jenderal kita semenjak
tadi malam bersama beliau dan sudah melihat secara langsung kondisinya.
Konsulat kita juga sudah menunjuk seorang dokter Indonesia yang sudah
berpraktek di Arab Sausi selama lima tahun untuk menjadi dokter yang
mendampingi Ibu Sumiati selama perawatan," kata Marty.
Bahkan Kemenlu telah mengeluarkan kecaman keras
terhadap peristiwa yang menimpa Sumiati dan pemerintah Arab Saudi pun, menurut
Marty, turut mengecam dan menganggap peristiwa tersebut melanggar
nilai-nilai perikemanusiaan.
Sumiati (23 th), merupakan TKI
yang berasal dari Dusun Jala, Kecamatan Huu, Kabupaten Dompu, Bima, Nusa
Tenggara Barat. Dia berangkat ke Arab Saudi melalui PT Rajana Falam Putri dan
tiba di Arab Saudi pada 18 Juli 2010,.
Kekerasan yang dilakukan majikan Sumiati dinilai sangat
tidak manusiawi. Pihak Konsulat Jenderal Indonesia menuntut tanggung jawab
penuh dari sponsor yang memberangkatkan Sumiati.[4]
Terungkapnya kasus ini bermula saat Sumiati yang diberi
upah 800 real per bulan itu mendatangi rumah sakit di Madinah. Tetapi petugas
rumah sakit di sana 'angkat tangan' karena luka yang dialami sangat berat. Sumiati
memerlukan penanganan lebih intensif. Akhirnya, wanita berusia 23 tahun itu
dirujuk ke Rumah Sakit Raja Fahd.
Luka Sumiati memang sangat parah. "Tubuhnya
mengalami luka bakar di beberapa titik. Kedua kakinya nyaris lumpuh, kulit
tubuh dan kepalanya terkelupas, jari tengah retak, alis matanya rusak. Dan yang
lebih parah, bibir bagian atasnya hilang," kata Miea Mirlina, petugas
rumah sakit Fahd.
Diduga, majikan wanita yang kerap melakukan kekerasan
terhadap Sumiati. Dia menerima kekerasan secara berkali-kali, bahkan mengalami
luka akibat setrika panas. Sumiati tidak bisa berbahasa Arab atau Inggris.
Keluarga menuntut pertanggungjawaban sponsor yang
memberangkatkan Sumiati. Sementara pihak rumah sakit merekomendasikan agar
Sumiati menjalani operasi plastik.
Sejak mulai bekerja pada 23
Juli 2010 Sumiati kerap menerima penyiksaan dari istri dan anak majikannya.
Sumiati kemudian dirawat di RS King Fahadh, Madinah, Arab Saudi. Lukanya sangat
parah, sampai-sampai bibir bagian atasnya hilang, seperti luka gunting.[5]
Kasus
penganiayaan yang menimpa Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal Dompu, Nusa Tenggara
Barat, Sumiati binti Salam Mustapa (23), di Madinah, Arab Saudi, menyita perhatian besar bangsa Indonesia.
Namun,
hanya berselang beberapa hari, cerita duka kembali terulang, bahkan lebih
tragis. Tenaga kerja Indonesia, asal Cianjur, Kikim Komariah tewas disiksa
majikannya di Arab Saudi dan jasadnya
ditemukan di tong sampah.
Kasus
lain, TKW asal Indramayu, Jawa Barat, Laila Darus meninggal di Syiria diduga
akibat penganiayaan majikannya. Selain mengalami kekerasan fisik, gaji korban
selama bekerja selama satu tahun sama sekali belum
dibayar.
Rakyat
Indonesia pun meradang, salah satu ungkapan kemarahan itu dengan terjadinya
aksi demo yang diwarnai pelemparan telur busuk ke Kantor Kedubes Pemerintah Arab Saudi di Jakarta.[6]
Pengamat
hukum dari Universitas Mulawarman Samarinda, Prof. Sarosa Hamongpranoto, SH, M
Hum menilai terungkap kasus yang menimpa Sumiati, Kikim dan Laila Darus ibarat
fenomena gunung es, karena kasus yang tidak terungkap diperkirakan lebih banyak. [7]
"Kasus
penyiksaan, pemerkosaan atau kasus lebih ringan misalnya tidak memberikan hak
TKW seperti tidak membayar gaji mereka pasti banyak yang tidak terungkap
ketimbang yang kita ketahui," katanya.
Hal
itu terjadi karena beberapa faktor misalnya, hambatan komunikasi untuk
menyampaikan pengaduan mereka, tidak tahu harus mengadu kemana serta masalah
bahasa, mengingat kenyataannya sebagian TKW tidak bisa menggunakan bahasa
setempat (Arab) atau Bahasa Inggris,
seperti pada kasus Sumiati.
Kasus
pemerkosaan, penganiayaan berat dan pembunuhan TKW bukan kali ini saja terjadi
namun sudah berulang-ulang. Jika tidak di Malaysia, Hongkong, atau Singapura,
peristiwa terjadi di Timur Tengah, seperti Arab Saudi, Qatar, atau Uni Emirat Arab.
Direktur
Migrant Care, Anis Hidayah neyatakan ada beberapa negara yang masuk "zona
merah" pengiriman dan penempatan TKW atau Tenaga Kerja Indonesia (TKI), yakni Arab Saudi dan Malaysia.[8]
"Negara
harus menetapkan garis merah untuk Arab Saudi dan negara tetangga kita Malaysia,"
katanya menegaskan dalam acara diskusi Polemik di Warung Daun, Jakarta, Sabtu (20/11/2010).[9]
Data
Depnakertrans pada 2009 menunjukan bahwa Arab Saudi merupakan salah satu negara
tempat TKI terbesar di luar negeri setelah negara jiran Malaysia. Data
Depnakertrans mencatat bahwa jumlah TKI yang bekerja di Arab Saudi 927.500 orang.
Menurut
catatan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia
(BNP2TKI) pada 2009, Arab Saudi merupakan negara yang paling banyak didapati
TKI bermasalah (22.035 kasus). Selain kasus penyiksaan, TKI di Arab Saudi
mengalami pelecehan seksual, pemerkosaan, gaji tidak dibayar, serta lari dari
majikan hingga meninggal dunia akibat
kekerasan dan eksploitasi.
Pertanyaannya
mengapa Arab Saudi diminati TKW/TKI? Penjelasan rasionalnya adalah karena
iming-iming gaji besar serta bagi TKW/TKI yang latar belakang dari pesatren,
maka harapan agar bisa menunaikan ibadah haji secara gratis adalah daya tarik tersendiri.
Kelebihan
Hongkong
Tingginya
kasus penyiksaan TKW/TKI di Arab Saudi diperkirakan beberapa faktor antara lain
pandangan sosial yang melihat bangsa Indonesia sebagai bangsa kelas dua,
pembantu dianggap hamba, sebagian TKI masuk menggunakan visa umrah atau haji
sehingga bekerja sebagai TKI ilegal, masalah bahasa serta kehidupan sosial agak tertutup.
Bandingkan
dengan Hongkong misalnya, yang juga ada kasus-kasus serupa namun jauh lebih
sedikit ketimbang Malaysia dan Arab Saudi namun bagi sebagian orang dianggap sebagai surga bagi TKI.
Kehidupan
sosial warga TKI di sana lebih terbuka sehingga komunikasi di antara pekerja asal Indonesia sangat kental.
Lihat
saja, pada Hari Minggu, ribuan pekerja wanita asal Indonesia memenuhi Victoria
Park. Bagi orang yang pertama kali datang ke kawasan itu, akan sedikit bingung
membedakan antara TKW yang umumnya bekerja sebagai pembantu atau
"artis" karena cara berpakaian mereka sangat modis seperti wanita-wanita setempat.
Hongkong
cuma mengizinkan TKW sebagai pekerja dalam rumah, misalnya bukan di pabrik
karena pabrik semua di Mainland China.
Dewi,
seorang TKW asal Ciamis (Jawa Barat) mengaku bahwa sudah dua tahun di sana
dengan gaji sekitar empat juta rupiah per bulan. Penampilan wanita berkulit
putih itu benar-benar penampilannya tidak seperti pembantu, dengan mengenakan
rok mini dan sepatu boot putih mirip artis dangdut yang akan manggung.
Dewi
mengaku pekerjaannya cukup ringan karena hanya membersihkan rumah serta
memelihara anjing tuannya yang karena pekerjaan
jarang ada di rumah.
"Victoria
Park ini bisa dikatakan sebagai wadah komunikasi berbagai hal, karena kalau
hari libur para TKW berkumpul di sini," ujar dia mengenai taman di tengah
kota yang menjadi tempat khusus komunitas
TKW setiap Hari Minggu.
Selain
itu, ia memuji sikap pemerintah Hongkong dan aktivis wanitanya yang serius
menangani kasus-kasus menimpa TKI di Hongkong yang jumlahnya sekitar 130.000 orang.
Beberapa
aktivis pembela perempuan Hongkong yang membagi-bagikan brosur tentang
cara-cara pengaduan jika mereka dirugikan para majikannya dalam tiga bahasa,
bahasa Mandarin, Bahasa Inggris dan Bahasa
Indonesia.
Dalam
brosur itu juga memuat tentang berbagai hal mengenai saksi sesuai hukum yang
berlaku di Hongkong terhadap majikan yang melakukan pelanggaran termasuk
mengenai hak-hak TKW, misalnya libur wajib pada Hari
Minggu.
Sebaliknya,
TKW di Arab Saudi lebih tertutup karena mereka harus bekerja dalam sebuah
lingkungan yang juga tertutup. Biasanya hanya bisa keluar rumah jika menemani
majikan ke pasar, tidak ada sebuah wadah seperti Victoria Park untuk menjalin
silaturahmi dan komunikasi, atau tidak ada aktivis wanita seperti di Hongkong.
"Mengingat
kasus yang menimpa para TKI ini sudah berulang-ulang maka seharusnya jadi
pembelajaran berharga bagi pemerintah dalam menemukan akar masalah serta
mencari jalan keluar guna menekan kasus serupa terulang lagi,"
Rakyat
sangat mengharapkan agar pemerintah segera menuntaskan berbagai persoalan yang
selama ini menjadi "masalah klasik TKI", dan tidak lagi bereaksi
sesaat, seperti "pemadam kebakaran".
Sebaliknya
pemerintah harus memiliki manajemen jelas dalam mengatasi masalah, serta
mengantisipasinya atau meminimalisir kasus serupa
terulang.
"Momentum
Sumiati harusnya menjadi titik untuk mengubah sistem pengiriman TKW/TKI,
memperkuat diplomasi luar negeri, serta menghilangkan kesan pemerintah hanya
bisa berbicara tetapi tidak bisa bekerja," ujar
Sarosa.[10]
B.
Perumusan Masalah
Masalah yang akan di bahasa dalam makalah ini
hanya seputar kekerasan dan penyiksaan terhadap Tenaga Kerja Indonesia
khususnya perempuan (TKW) yang berada di Luar Negeri
BAB II
Landasan
Teoritis
A.
Amanat
Konstitusi
Pemerintah harus
bertekad agar Sumiati jadi kasus terakhir TKW yang mendapat perlakuan sangat
tidak manusiawi. Selain masalah hak azasi manusia, maka pemerintah wajib
menjalankan UUD 1945 seperti amanat Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945, "Tiap-tiap
warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan".
Juga Pasal 28D Ayat 1
& 2, "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Setiap
orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja".
Pemerintah juga
diamanatkan pada Pasal 28G Ayat 1 & 2, "Setiap orang berhak atas
perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang
dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman
ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan
derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain".
Menyiksa satu TKW,
sama saja menyiksa 230 juta rakyat Indonesia, menistakan satu TKW sama saja
menistakan warga Indonesia dari Sabang sampai Mauruke, dan memperkosa satu TKW
sama saja memperkosa Ibu Pertiwi.
Pelaksanaan pengiriman
Tenaga Kerja Indonesia keluar negeri telah diatur sesuai Peraturan Menteri
Tenga Kerja Indonesia Nomor : Per-02/Men/1994, tentang Penempatan Tenaga Kerja
Di dalam dan ke Luar Negeri dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor :
Kep-44/Men/1994 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penempatan Tenaga Kerja di Dalam
dan di Luar Negeri, yang merupakan pengganti Peraturan Menteri Tenaga Kerja
Nomor : Per-06/Men/1987 tentang Bursa Kerja Swasta dan Peraturan Menteri Tenaga
Kerja Nomor Per-01/Men/1991 tentang Antar Kerja Antar Negara (AKAN), yang sudah
tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan masyarakat Indonesia.
Sesuai Peraturan Menteri
Tenaga Kerja nomor : Per-02/Men/1994 tentang Penempatan Tenaga Kerja di Dalam
dan di Luar Negeri, pelaksanaan penempatan tenaga kerja di luar negeri
ditetapkan dalam Bab II pasal 5 tentang persyaratan kerja sebagai berikut :
a.
Instansi pemerintah atau
swasta yang telah mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal PEmbinaan dan
Penempatan Tenaga Kerja atas nama Menteri Tenaga Kerja
b.
Badan hokum lain yang telah
mendapat persetujuan tertulis dari Direktur Jenderal Pembinaan dan Penempatan
Tenaga Kerja atas nama Menteri Tenaga Kerja.
c.
BKK (Bursa Kerja Khusus)
yang bekerja sama dengan PJTKI.
d.
Badan usaha swasta
e.
Badan usaha yang ditunjuk
oleh Menteri Tenaga Kerja
Persyaratan untuk menjadi PJTKI ditetapkan
dalam Bab II psl 6 sbb :
a. Badan usaha yang memiliki SIUP PJTKI.
b. Syarat-syarat untuk mendapat SIUP PJTKI
adalah sebagai berikut :
- Perusahaan Berbadan Hukum (P.T)
- Modal perusahaan seluruhnya dimiliki oleh
warga negara Indonesia.
- Direksi dan pemilik perusahaan adalah WNI
- Memiliki ketentuan modal disetor minimum dan
dana jaminan sebagai deposito PJTKI pada Bank peserta program pengiriman tenga
kerja.
- Mempunyai referensi Bank dari bank peserta
program penempatan tenaga kerja.
- Kesanggupan untuk memiliki Balai Latihan Kerja
(BLK) sendiri paling lambat dalam jangka waktu 5 tahun setelah mendapat SIUP
PJTKI.
- Mempunyai proposal kegiatan perusahaan untuk
jangka waktu minimal tiga tahun ke depan.
c. Modal disetor untuk mendapatkan SIUP PJTKI
ditetapkan untuk SIUP PJTKI untuk penempatan didalam dan keluar negeri
sekurang-kurangnya sebesar Rp. 375.juta dan untuk SIUP PJTKI penempatan didalam
negeri sebesar Rp. 100.juta.
d. Dalam pembinaan, tanggungjawab dan
peningkatan kesejahteraan karyawan perusahaan perlu membentuk koperasi karyawan
yang mengurusi sekurang-kurangnya 10% dari total saham perusahaan dan menjadi
sekurang-kurangnya 20% setelah lima tahun.
e. Persyaratan teknis dan tatacara permohonan
SIUP PJTKI yang diatur Keputusan Menteri Tenaga Kerja
Tugas PJTKI adalah
melaksanakan tugas kegiatan penempatan tenaga kerja sesuai dengan proses antar
kerja baik di dalam dan ke luar negeri.
Sedangkan hak-hak PJTKI
sesuai dengan pasal 11 antara lain :
a.
Menempatkan tenaga kerja di
dalam dan ke luar negeri
b.
Menyediakan tenaga kerja
yang diperlukan pengguna jasa baik di dalam maupun di luar negeri
c.
Memperoleh informasi pasar
kerja dari dalam dan luar negeri.
d.
Memperoleh bimbingan dan
pembinaan dari Departemen Tenaga Kerja.
e.
Memperoleh biaya jasa
penempatan dari pengguna jasa baik dari dalam maupun dari luar negeri.
f.
Memperoleh biaya jasa
penempatan dari tenaga kerja sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
g.
Mengelola bank data tenaga
kerja terampil atau berpengalaman.
B.
Pengiriman TKI Ke Luar Negeri
Pemerintah
Indonesia melihat terbukanya kesempatan kerja di luar negeri dengan adanya
permintaan dari Negara-negara yang mau menerima tenaga kerja Indonesia untuk
dipekerjakan di negaranya dengan mutu dan jumlah yang dianggap memadai. Dengan
dibekali lebih dulu suatu bentuk pendidikan dan pelatihan sesuai dengan kebutuhan
yang diinginkan, dimulailah pelaksanaan pengiriman tenaga kerja ke luar negeri,
yang pertama kali ke Arab Saudi pada awal tahun 1980 an. Pemerintah mulai
memperhatikan peran kesempatan kerja yang tersedia di luar negeri terutama
untuk menampung keinginan tenaga kerja Indonesia untuk bekerja di luar negeri.
Indonesia merupakan salah satu pengirim tenaga kerja yang cukup besar ke luar
negeri. Dari tahun ke tahun pengiriman ini mengalami peningkatan.
C.
Jaminan Perlindungan Hukum TKI Di Luar Negeri
Perlindungan
tenaga kerja ke luar negeri dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangan
yang berlaku. Untuk pelaksanaanya PJTKI berkewajiban memenuhi persyaratan
perlindungan tenaga kerja seperti :
- Persyaratan penempatan tenaga kerja;
- Seleksi terhadap kualitas calon pengguna jasa
tenaga kerja;
- Kejelasan dan kepastian perlindungan hokum
bagi pekerja;
- Kepastian keikutsertaan pekerja dalam
Jamsostek (Jaminan Sosial Tenaga Kerja) dan Jaminan Kesejahteraan Tenaga Kerja atau
sistem asuransi di negara penempatan tenaga kerja.
Ismail
Sunni ketika menjabat duta besar Indonesia di Arab Saudi (1994), pernah
memberikan komentar sehubungan dengan perlindungan TKI. Ia menegaskan bahwa
secara hokum TKI sebenarnya telah mendapat perlindungan hokum karena di
Kerajaan Arab Saudi menggunakan Undang-Undang Dasar sesuai Al-Quran dan Sunnah
Nabi Muhammad SAW.[11]
Ada ayat-ayat yang terkandung dalak Kitab Suci Al-Quran, yang
mengatur/melindungi secara hokum kepada buruh, antara lain agar seseorang tidak
dibebani pekerjaan yang tidak sesuai dengan kemampuannya (QS.2:86)[12].
Dan di dalam hadits Nabi Muhammad SAW, ada perintah agar membayar gaji
buruh/upah pekerja sebelum keringat mereka kering.[13]
Dalam
peraturan Kerajaan Arab Saudi, yaitu dalam The
Basic Law of Government pasal 17, (Basic Law 1 Maret 1992), ditetapkan
bahwa : pemilikan modal, dan tenaga kerja adalah dasar ekonomi dan kehidupan
social kerajaan yang semuanya menerapkan hak-hak peribadi yang melayani fungsi
social yang sesuai dengan syariah islam.[14]
Pasal
18, menetapkan bahwa negara akan menjamin kebebasan dan tak dapat diganggu
gugatnya kepemilihan pribadi. Kepemilikan pribadi tidak akan disita, kecuali
untuk kepentingan umum, dan penyitaan akan dikompensasi secara wajar.[15]
Pasal
26, bahwa negara akan menyediakan kesempatan kerja kepada semua rakyat yang
sanggup dan akan menetapkan perundang-undangan untuk melindungi pekerja dan
majikan.[16]
Pasal
36, menyebutkan bahwa, negara akan menjamin keamanan semua warga negara dan
orang asing yang hidup dalam tempat tinggalnya. Tidak ada orang yang akan
ditahan, dipenjara, atau tindakan-tindakannya dibatasi kecuali oleh
ketentuan-ketentuan hokum.[17]
Pasal
47, menyatakan bahwa warga negara dan penduduk asing keduanya mempunyai hak
yang sama terhadap proses peradilan.[18]
Sementara
dalam Royal Decree Nomor /M/21 tanggal 15 November 1969, mengenai Undang-Undang
Perburuhan Kerajaan Arab Saudi, pasal 3 menetapkan bahwa, sebagai
pengecualian pasal-pasal Undang-Undang ini tidak termasuk kepada :[19]
a. Pekerja dalam perusahaan keluarga yang
termasuk hanya anggota-anggota dari keluarga majikan;
b. Orang yang bekerja di peternakan atau
pertanian dengan pengecualian ;
b.1.orang-orang yang
bekerja di perusahaan pertanian yang memproses produksinya sendiri.
b.2.Orang-orang yang
bekerja secara permanen dalam operasi atau perbaikan alat mekanis yang
diperlukan untuk pertanian.
c. Pembantu domestic dan orang-orang yang
dianggap seperti itu.
Dengan demikian tenaga kerja yang bekerja di
negara Kerajaan Arab Saudi di luar pengecualian itu dapat termasuk dalam
undang-undang perburuhan Kerajaan Arab Saudi.[20]
Jaminan perlindungan hukum bagi tenaga kerja
di Kerajaan Arab Saudi sebenarnya telah ada dan tercantum dalam perundangan,
baik dalam konstitusi, Basic Law, Maupun Labour
Law.
Jika perlindungan itu tidak ada, akan
diusahakan perdamaian antara tenaga kerja dengan pengguna jasa, Kedutaan
RI/Konsulat Jenderal RI di Arab Saudi cukup membantu dengan menyediakan tecaga
pengacara secara tetap.[21]
BAB III
ANALISIS KASUS
A.
TKI dan Permasalahannya
Luar biasa hebatnya
pemberitaan media massa atas kasus penyiksaan TKI diluar negeri akhir-akhir
ini. Media telah menempatkan penyiksaan TKI luar negeri sebagai
berita istimewa melebihi kasus mafia hukum dan Korupsi. Berbagai
elemen masyarakatpun angkat bicara dengan porsinya masing-masing untuk
mendudukan permasalahan TKI ada dimana.
Melihat opini yang
berkembang, Sejumlah pandangan terkesan tidak berimbang dan cenderung memberi
vonis bahwa TKI adalah korban kekerasan yang tidak pernah berhenti
karena rule of law pemerintah terlalu lemah. Tidak salah memang, jika
aspek hukum menjadi persoalan yang dijadikan acuan utama. Tapi bila kita
melihat penempatan TKI secara lebih luas, maka akan ada sejumlah persoalan lain
terkait lemahnya rule of law tadi.
Sesungguhnya, pemberitaan
gencar media massa baik cetak maupun elektronik yang kita
lihat adalah pandangan atas kelalaian Negara dalam tata kelola perlindungan
hukum bagi TKI. Pandangan yang muncul banyak mempersoalkan perlindungan TKI
oleh Negara dari siksaan semata tanpa melihat aspek kesuksesan bagi
sebagian besar TKI dan aspek keuntungan Negara yang lebih luas dari
sector ekonomi dan psikososialnya. Termasuk kondisi ril Negara ditengah
kebutuhan dan kemiskinan sebagian rakyat yang belum bisa diatasi Negara.
Secara hukum, persoalan TKI
akan berada didalam wilayah ‘ Dua Negara ‘ , Dimana setiap negara
ditetapkan bertanggung jawab atas terjadinya tindakan kesalahan.
Pertanyaan, apakah penyiksaan TKI sudah mendapat perlindungan dari
Negara ?. Sepanjang kejadian siksaan terhadap TKI, bisa
dibilang Negara telah lalai dalam tanggung-jawabnya. Hampir
dipastikan baik Negara asal maupun sejumlah Negara penempatan tidak
berfungsi efektif memberi pelayanan dan perlindungan TKI.
Dalam situasi
Negara mengalami situasi politik yang panas, dan tata
kelola hukum pemerintah yg lemah, maka penyiksaan TKI harus diakui
menjadi issu strategis dilibatkan yang kemudian dipolitisir untuk
melengkapi buruknya pengelolaan hukum Negara oleh pemerintahan yang
ada. Politisasi kasus TKI-pun semakin lancar dan membias karena dukungan
media massa lebih menyukai pemberitaan bermasalah dari pada kesuksesan TKI yang
jauh lebih besar.
Berangkat dari sejarah
penempatan TKI keluar negeri yang awalnya dirintis pihak swasta kemudian
Negara terlibat melalui UU dan sejumlah peraturan untuk memberi adanya
jaminan perlindungan serta peningkatan kualitas, maka penempatan
TKI luar negeri dengan sendirinya telah menjadi program nasional yang
sama dengan program transmigrasi maupun pengentasan kemiskinan. Namun
dalam implementasinya, TKI hanya menjadi subyek untuk mewajibkan
mengikuti aturan-aturan Negara tanpa mendapat pelayanan dan
perlindungan maksimal.
Munculnya pilihan menjadi
TKI bekerja sebagai pembantu rumah tangga di negeri orang semakin hari
terus meningkat tidak juga bisa kita salahkan. Fakta- fakta
yang memberi gambaran obyektif dan langsung dari kemiskinan nyata
banyak yang sukses menjadi TKI didepan mata, Lantas dengan
keterbatasan berpikir, hanya menjadi TKI lah bagi sebagian rakyat bisa
melepaskan diri dari kungkungan ekonomi dinegeri sendiri. Sebuah
fakta memang yang harus dilakukan oleh sebagian besar rakyat miskin yang
tidak memiliki kemampuan untuk berkompetitif dengan ketidak-tersediaan lapangan
kerja dalam negeri.
Keterlibatan Negara
terhadap penempatan dan perlindungan TKI memang memberi
keuntungan, disatu hal terbukti membawa dampak social yg baik
dan memberi keuntungan dalam sector ekonomi melalui devisa. Namun
melihat kemiskinan nyata yg signifikan serta kasus yang dialami TKI di
luar negeri yang kehilangan perlindungan , maka Negara terpojokan
dalam posisi dilematis. Disatu sisi Negara berhadapan kemiskinan dan disisi
lain belum mampu memberi perlindungan optimal bagi TKI.
Pemerintah serta
PPTKIS sebagai wakil Negara dalam pelaksana penempatan
TKI senantiasa dihujat sebagai biang kerok
lemahnya perlindungan dan peningkatan kualitas TKI, karena dituding
pemalsuan document dan sebagainya. Tetapi semua pihak tidak
mau melihat bahwa pemalsuan document juga banyak dilakukan oleh TKI dan
keluarganya . Tindakan ini terpaksa dilakukan karena hukum
Negara seperti pembatasan usia minimal 21 tahun oleh
UU 39 Tahun 2004, dianggap telah membatasi hak mereka untuk bekerja
dan mendapat kehidupan layak.
Bicara perlindungan
dan peningkatan kualitas TKI dalam Negeri , harus dilihat dari
sejumlah ketentuan yang dibuat pemerintah. Ketentuan TKI
diwajibkan menjalani tahapan proses peningkatan kualitas
dan perlindungan dalam negeri seperti pemeriksaan Kesehatan,
BLK-LN, Paspor, Asuransi Pra pemberangkatan dan Asuransi
pemberangkatan telah di ikuti dan sepenuhnya dibiayai dari dana
Negara penempatan, bukan dana APBN. Artinya Negara penempatan cukup
koperatif terkait upaya peningkatan kualitas dan perlindungan TKI.
Aspek lainya adalah
multiple-efek, dimana TKI memberi masukan signifikan bagi
penerbangan kita, pedagang kaki –lima disemua pos pelayaan TKI, dan miliaran
rupiah masuk di tiap daerah dari kiriman TKI tiap hari . Termasuk dana
pembinaan dan perlindungan sebesar 15 Dollar per TKI kepada pemerintah
sejak 25 tahun lalu yang hingga kini tidak jelas kemana arah
pengelolaannya. Cukup jelas begitu besar dampak positif dari program
penempatan dan perlindungan TKI. Namun, persoalan penting disini adalah
keterlibatan Negara yang belum optimal dalam peningkatan kualitas kerja
dan kualitas mentalitas TKI. Dua aspek ini cenderung menjadi sumber
masalah munculnya sejumlah kasus, apalagi pihak penggunan jasa ( majikan )
merasa telah mengeluarkan banyak anggaran.
Persoalan menjadi lain
ketika muncul kasus siksaan terhadap TKI diluar negeri oleh sedikit
orang seperti Arab Saudi misalnya, masyarakat begitu cepat bereaksi dan
menghujat suatu Negara tanpa melihat berbagai aspek lain. Persoalan
terjadi penyiksaan sebenarnya bisa dikatakan konsekwensi resiko yang
relative muncul dimana saja. Tetapi atas desekan kebutuhan dan
pendapatan yang lebih baik, animo menjadi TKI mengalahkan resiko. TKI telah
mengambil jalan sendiri dan tidak melihat ada kepedulian dari dalam
Negeri yang menjamin perubahan nasib mereka.
Adakah kita menyadari
bagaimana sulitnya rakyat miskin mempertahankan hidup dengan kemampuan
sebatas menjadi pembantu rumah tangga, Apakah ada jaminan
pemerintah untuk melahirkan peraturan mewajibkan setiap pengguna jasa
pembantu rumah tanggaa dalam negeri ditetapkan dengan gaji mencukupi.
Adakah inisiatif DPR RI untuk membuat UU yang lebih memberi
pelayanan dan perlindungan dengan baik, atau adakah diantara kita
mau memikirkan kemiskinan mereka, kalau bukan setelah mereka
menjadi TKI dan disiksa, dan sederet pertanyaan lain yg menyangkut
adanya jaminan kehidupan yang layak bagi rakyat miskin.
Jika kita melihat dengan
rasional yang obyektif, maka pantas kita bertanya, bukankah Negara-Negara
penempatan seperti Negara - Negara Arab dan
Negara Asia pasifik lainnya telah banyak membantu
perbaikan nasib sebagian rakyat kita. Bukankah Negara –Negara
tersebut mau menerima masyarakat kita karena melihat factor keagamaan dan
kemiskinan. Mungkinkah TKI kita yang hanya memiliki kemampuan
sebatas pembantu rumah tangga diterima di Negara Eropa, kalau jika bukan
Negara-Negara Arab.
Sangat disayangkan oleh
kita semua, jika benar persoalan TKI sekarang telah dipolitisir oleh
kepentingan politik atau telah dimanfaatkan kepentingan kelompok tertentu
yang memiliki motifasi untuk mengalihkan dominasi penempatan TKI
pada wilayah Negara tertentu.
Kita tidak pantas bersikap
munafik dengan alasan harga diri, tetapi tidak mampu memahami
masalah untuk asal bicara sehingga merendahkan nilai intelektual kita.
Fakta Prosentase keuntungan Negara dalam sector ekonomi melalui
devisa dan pengiriman gaji serta multi efek lain jauh
lebih tinggi dibanding kegagalan karena kasus. Begitupun
dengan prosentase fakta dalam sector psikososial , dimana
menjadi TKI telah mampu mengangkat harkat
martabat atas kemiskinan , pola pikir dan pola hidup mereka
lebih baik, bukan oleh kita dan Negara. Justeru kita dan Negara
telah mengambil banyak manfaat dari semangat TKI.
Untuk Negara saat
ini, persoalan perlindungan dan kualitas TKI menjadi PR
penting untuk diselesaikan. Solusi perlindungan harus
ditempuh dengan langkah diplomatic yang optimal dengan Negara penempatan
yang lebih mengacu pada nilai-nikai kemanusiaan dengan
merujuk hukum migrant internasional. Dan pihak-pihak lain supaya
lebih arif mendudukan persoalan sehingga tidak sekedar bisa memberi hujatan
jika TKI menghadapi masalah karena persoalan TKI adalah
persoalan Negara yang juga menjadi persoalan kita semua.[22]
Setiap kali melihat berita di media cetak dan elektronik
tentang perlakuan tidak manusiawi, merendahkan martabat manusia, kasar, penyiksaan,
sampai pembunuhan terhadap tenaga kerja Indonesia/tenaga kerja wanita (TKI/TKW)
di luar negeri, pemerintah dan masyarakat baru bereaksi, seolah-olah kejadian
seperti ini tidak dapat diprediksi sebelumnya.
Padahal TKI yang dikirim ke luar negeri, khususnya TKW,
sangatlah rawan terhadap penyiksaan, perlakuan kasar, dan tidak manusiawi
sampai kepada pemerkosaan, pembunuhan, atau penghilangan (disappearance). Sikap
reaktif dan impromptu itu sungguh tidak bijaksana mengingat harkat dan martabat
bangsa Indonesia dipertaruhkan di negara yang menampung mereka di perantauan
karena alasan mencari dan memperoleh pekerjaan guna menyambung hidup mereka,
yang di dalam negeri tidak dapat mereka peroleh dengan berbagai alasan ekonomi,
sosiologis, dan antropologis.
Selayaknya TKW/TKI yang sudah sejak lama dianggap sebagai
pahlawan devisa diperhatikan nasibnya oleh pemerintah dan elite negeri ini.
Ketidakmampuan menyediakan lapangan kerja bagi sebagian penduduk Indonesia
adalah tanggung jawab pemerintah dan elite karena berbagai hal itu disebabkan
kekeliruan manajemen, ketimpangan distribusi kekayaan, dan kesenjangan sosial.
Pihak TKW/TKI yang dikirim ke mancanegara banyak yang
tidak dibekali pengetahuan mengenai budaya, kebiasaan, persepsi majikan
terhadap TKW/ TKI, hubungan kerja, penguasaan bahasa, perlakuan, dan
pengharapan (ekspektasi) majikan di sana dan lain-lain. Karena itu, program
pelatihan dan penyuluhan TKW/TKI perlu diadakan agar para TKW/TKI yang mau
berangkat ke negara tujuan dibekali pengetahuan tentang budaya, kebiasaan,
hubungan kerja, bahasa dan keterampilan yang dapat meminimalisasi risiko
penganiayaan, penyiksaan, perlakuan tidak manusiawi, dan perendahan harkat dan
martabat sebagai manusia, dan pembunuhan.
Tanpa
pembekalan akan keterampilan (skill), bahasa setempat, dan penyuluhan tentang
hal-hal yang disebutkan tadi, akan rawan terjadi ketidakpuasan sang majikan
yang menggaji mereka, yang bukan tidak mungkin akan berujung pada
tindakan-tindakan pelecehan seksual dan kekerasan kepada TKW/TKI.
Perlakuan
yang tidak manusiawi ini merupakan pelanggaran atas Pasal 5 Universal
Declaration of Human Rights yang berbunyi: “No one shall be subjected to torture or to
cruel, inhuman or degrading treatment or punishment”.[23]
Perlakuan
tidak manusiawi terhadap TKI/TKW juga melanggar Pasal 7 International Covenant
on Civil and Political Rights, yang berbunyi: “No one shall be subjected to
torture or to cruel, inhuman or degrading treatment or punishment. In
particular, no one shall be subjected without his free consent to medical or
scientific experimentation”.[24]
Di sinilah pemerintah kita harus berperan sebagai penyuluh dan pembimbing
proaktif para TKW/ TKI.
Bagi
negara berkembang seperti Indonesia, peran pemerintah sangat vital untuk
memberikan penyuluhan dan bekal sebelum para TKW/TKI dikirim ke negara-negara
tujuan seperti di Timur Tengah (Saudi Arabia, Jordania, Uni Emirat Arab, dan
lain-lain), Malaysia, Singapura, Hong Kong, dan Taiwan. Pemerintah harus
proaktif memberi perlindungan hukum seperti mengadakan perjanjian bilateral
dengan negara penampung TKW/ TKI.
Kemudian
menyusun draf kontrak kerja yang dapat melindungi para TKW/TKI, penyuluhan
tentang bahasa, kebudayaan, kebiasaan, ekspektasi, hubungan kerja, hak cuti,
prosedur pengaduan kalau ada perlakuan melanggar hukum dan kemanusiaan, serta
hal-hal lain. Adapun peran dan tanggung jawab pemerintah terhadap TKW/ TKI
telah diatur dalam UU No 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
Pasal
6 UU No 39/2004 menyebutkan bahwa pemerintah bertanggung jawab untuk
meningkatkan upaya perlindungan TKI di luar negeri. Kemudian dalam Pasal 7,
“dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab tersebut pemerintah berkewajiban
sebagai berikut:
a)
Menjamin terpenuhinya menjamin terpenuhinya
hak-hak calon TKW/TKI, baik yang bersangkutan berangkat melalui pelaksana
penempatan TKI, maupun yang berangkat secara mandiri.
b)
Mengawasi pelaksanaan penempatan calon TKI;
c)
Membentuk dan mengembangkan sistem informasi
penempatan calon TKI di luar negeri;
d)
Melakukan upaya diplomatik untuk menjamin
pemenuhan hak dan perlindungan TKI secara optimal di negara tujuan; dan
e)
Memberikan perlindungan kepada TKI selama
masa sebelum pemberangkatan, masa penempatan, dan masa purna penempatan.”
Lebih lanjut dalam Pasal 77 hingga Pasal 84 UU No 39/2004
bahkan telah diatur lebih lanjut mengenai kewajiban-kewajiban pemerintah untuk
memberikan perlindungan terhadap TKW/TKI selama penempatannya di luar negeri,
melalui perwakilannya di luar negeri dan perwakilan dari perusahaan swasta yang
melaksanakan penempatan TKW/TKI di luar negeri. Selain itu, perlu juga
diselidiki terlebih dahulu, apakah negara tujuan masih mempraktikkan
perbudakan?
Siapa-siapa saja yang bersalah selama ini dan sejauh mana
proses peradilan dan hukuman yang ditetapkan? Barangkali kita dapat belajar
dari sesama negara ASEAN seperti Filipina dan Thailand yang juga mengirim
tenaga kerja keluar negeri tetapi tidak mengalami nasib yang sama dengan TKI
asal Indonesia. Semua ini perlu dilakukan terpadu, terprogram, holistik, bukan
sewaktu-waktu dan reaktif saja, karena ini menyangkut kemanusiaan, harkat, dan
martabat bangsa.
Pemerintah harus melindungi hak asasi manusia para
TKW/TKI, khususnya hak hidup, hak memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang
layak, serta hak atas perlakuan sama di hadapan hukum dan dianggap sebagai
subyek hukum dan bukan objek hukum. Tanpa jaminan tersebut, sebaiknya
pengiriman TKW/TKI ke negara-negara tertentu yang tidak dapat menjamin ada
perlindungan hukum atas hak asasi manusia serta perlakuan yang wajar dan
manusiawi bagi TKW/TKI dihentikan untuk sementara waktu, sampai keadaan
kondusif dan pemerintah negara tujuan menjamin perlindungan hukum atas hak
asasi manusia serta perlakuan yang wajar dan manusiawi terhadap para TKW/TKI
kita.
IKADIN pernah mengirimkan Tim Kemanusiaan yang terdiri
atas Sudjono, Frans Hendra Winarta, John Pieter Nazar, dan Arno Gautama
Harjono, ke Malaysia pada 1991 untuk membela Salidin Bin Mohammad, TKI di
Malaysia yang dituduh membunuh seorang warga negara Malaysia dalam suatu
perkelahian antarkelompok di Ipoh, Kuala Lumpur, 1989. Pembelaan terhadap
Salidin Bin Mohammad dilakukan dengan bekerja sama dengan peguam bela Malaysia
atas biaya Tim Kemanusiaan IKADIN dan majikan Salidin.
Akhirnya, Mahkamah Tinggi Malaysia pada sidang tanggal 1
September 1992 memutus bebas Salidin Bin Mohammad karena mempunyai alibi.
Pengiriman TKW/TKI ke luar negeri memang suatu dilema. Di satu pihak, mereka
dapat memperoleh penghidupan dan pekerjaan yang layak dengan bekerja di luar
negeri, bahkan dapat membantu menafkahi keluarga mereka di Indonesia.
Tetapi di lain pihak, mereka terancam dengan penyiksaan,
pembunuhan, perlakuan tidak manusiawi, pemerkosaan, pelanggaran hukum, dan
pelanggaran hak asasi manusia lainnya. Tetapi, ini bukan tidak ada solusinya
selama pemerintah mempunyai political will untuk menanggulangi nasib para
TKW/TKI di mancanegara. Karena itu, pemerintah diharapkan dapat segera
bertindak untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang sering dialami TKW/TKI
di mancanegara selama ini, kasus-kasus penganiayaan TKW/TKI tidak terulang
kembali di masa mendatang.[25]
Meskipun berbagai kasus penyiksaan TKI
yang dialami oleh para tenaga kerja wanita di luar negeri kerap berujung pada
paket mayat yang diterima oleh pihak keluarga si pekerja, kenyataannya setiap
tahun jumlah tenaga kerja yang dikirim keluar negeri rata-rata mencapai 50.000
hingga 60.000 per tahun. Bahkan menurut pengakuan menteri Tenaga Kerja Sendiri
bahwa pengiriman TKI ke arab Saudi mencapai 300 orang perhari.[26] Provinsi
Jawa Timur menduduki peringkat pertama dalam pengiriman tenaga kerja Indonesia
ke luar negeri, disusul provinsi Nusa Tenggara Barat.
B.
Masalah domestic
Semua persoalan TKI di luar negeri berawal dari masalah
domestik. Sampai saat ini, pemerintah gagal menyusun sistem perekrutan,
dokumentasi, dan pelatihan calon TKI yang mumpuni.
Pemerintah menyerahkan hampir semua proses kepada
pelaksana penempatan tenaga kerja Indonesia swasta (PPTKIS) dan baru muncul
aktif menjelang tahap akhir penempatan. Persoalan kemiskinan membuat ribuan
angkatan kerja tanpa keahlian, bahkan sebagian besar tidak berpendidikan formal
sama sekali, mendaftar menjadi TKI.
Keterbatasan informasi dan peran aktif pemerintah,
terutama di daerah, membuat sponsor menjadi dewa penolong mereka. Sponsor, yang
seolah-olah kepanjangan tangan PPTKIS, berkeliaran mencari siapa saja yang
berminat bekerja ke luar negeri dengan janji gaji yang menggiurkan.
Sponsor mengantar calon TKI ke penampungan-penampungan
PPTKIS dan meninggalkan mereka di sana begitu menerima uang jasa dari
pengusaha. Sampai di sini, PPTKIS wajib membekali calon TKI dengan pelatihan
kompetensi minimal 200 jam dan bagi mereka yang sudah pernah bekerja di luar
negeri selama 100 jam. Kursus selama sekitar 21 hari tersebut bertujuan
meningkatkan kompetensi calon TKI terhadap bahasa, kondisi sosial, dan hukum di
negara tujuan.
Tetapi, dalam kasus Sumiati, kita mengetahui proses ini
tidak berjalan. Sumiati tidak bisa berbahasa Arab dan Inggris. Faktor
komunikasi yang membuatnya tidak mampu memahami permintaan atau instruksi
majikan. Oleh karena itu, Sumiati telah menjadi korban keserakahan pengusaha
penempatan dan birokrat yang tidak mampu menjalankan tugas.
Bagaimana mungkin Sumiati bisa tetap berangkat ke Madinah
dengan prosedur resmi sementara dia tidak memenuhi syarat pokok dalam
kompetensi kerja? Dalam hal ini, tentu kita tidak bisa menyalahkan Sumiati. Dia
hanya ingin bekerja agar bisa keluar dari kemiskinan. Sumiati bisa saja merasa
tertarik atas keberhasilan teman dan kerabatnya yang sukses mendulang rezeki di
luar negeri menjadi TKI.
Belum sebulan Muhaimin Iskandar menjabat Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi, dia meluncurkan program sertifikasi kompetensi 15.000
calon TKI tujuan Timur Tengah bekerja sama dengan asosiasi pengusaha penempatan
TKI. Muhaimin juga merazia sejumlah tempat penampungan calon TKI yang tidak
layak dan menegaskan akan mencabut izin PPTKIS konsumen sertifikat kompetensi
kerja TKI asli tetapi palsu. Disebut asli tetapi palsu (aspal) karena PPTKIS
mendapatkan sertifikat resmi itu tanpa menyertakan calon TKI dalam program
pelatihan kerja. Sertifikat aspal ini diperdagangkan dengan harga Rp 70.000 per
lembar.
Ketua Umum Himpunan Pengusaha Jasa Penempatan Tenaga
Kerja Indonesia Yunus M Yamani dan Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Jasa
Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Rusjdi Basalamah pernah mempersoalkan hal
ini. Namun, pemerintah tidak kunjung menangani sehingga praktik ilegal itu
semakin meluas. Pengusaha yang serius menjalankan aturan pemerintah menyertakan
calon TKI dalam program pelatihan kerja berbiaya Rp 1,1 juta per orang pun tergoda.
Mereka telah kehilangan daya saing saat pemerintah tak kunjung menindak
perdagangan sertifikat aspal senilai Rp 70.000 per lembar tanpa proses
pelatihan. Menurut Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah, PPTKIS dan
balai latihan kerja penerbit sertifikat kompetensi kerja aspal bisa dipidana
karena menggunakan dokumen resmi secara tidak sah. Namun, Kemennakertrans dan
BNP2TKI juga patut diseret ke pengadilan karena turut meloloskan pemegang
sertifikat aspal ke luar negeri. Kelemahan pemerintah membenahi persoalan
domestik turut melemahkan rasa percaya diri diplomasi bilateral.
Saat ini, Indonesia menghentikan sementara (moratorium)
penempatan TKI sektor informal ke Malaysia sejak 26 Juni 2009, Kuwait (1
September 2009), dan Jordania (30 Juli 2010). Moratorium ini berawal dari
keengganan pemerintah ketiga negara memenuhi permintaan Indonesia. Kemampuan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan pembantunya dalam hal negosiasi, lobi,
dan diplomasi sangat menentukan keberhasilan moratorium. Kalau tidak, ya seperti
sekarang. Kebijakan buruh migran Indonesia akan terus berfluktuasi mengikuti
kemauan negara tujuan dan penyiksaan TKI oleh majikan tak lebih angka statistik
semata. Semua demi aliran devisa.
C.
Faktor-faktor Penyebab Penganiayaan
Terjadinya banyak kasus penganiayaan dan penyiksaan TKI
yang berada di luar negeri disebabkan oleh banyak faktor. Faktor-faktor
tersebut tak jarang bermula dari ketidakprofesionalan pihak-pihak yang
menangani kebijakan penyaluran tenaga kerja Indonesia ke luar negeri. Berikut ini beberapa
faktor yang menyebabkan berbagai penganiayaan dialami oleh para tenaga kerja
terutama kaum wanita;
- Kemampuan berbahasa yang tak memadai
Salah seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Nusa Tenggara Barat bidang Kesra dan Tenaga Kerja bernama TGH Hazmi
Hamzar menyebutkan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya
penganiayaan dan penyiksaan TKI di negara Saudi Arabia adalah persoalan bahasa.
Para tenaga kerja banyak yang diberangkatkan dalam kondisi kepahaman bahasa
yang minim. Hal ini jelas akan menjadi faktor penghambat komunikasi antara
seorang pekerja dengan majikan. Oleh sebab itu hal penting yang harus dipenuhi
seorang tenaga kerja yang akan diberangkatkan adalah persoalan bahasa, bahasa
harus dikuasai sebab merupakan kunci utama dalam komunikasi.
2.
Kemampuan mengenal budaya negara yang akan
dituju
Kemampuan membaca dan memahami budaya suatu
daerah merupakan modal penting untuk seseorang dapat hidup di daerah
bersangkutan. Kesalahan dalam memahami sebuah budaya bukan hanya akan
menghambat komunikasi, namun lebih parah lagi dapat mengancam keselamatan
dirinya. Penyiksaan TKI di luar negeri salah satunya disebabkan oleh
ketidaktahuan para tenaga kerja terhadap budaya dan adat istiadat suatu daerah.
Pemahaman penting yang perlu ditanamkan pada para pekerja yang akan
diberangkatkan selain bahasa adalah pemahaman budaya. Dua hal ini akan menjadi
hal berimbang yang akan membantu keberadaan seseorang di sebuah negara asing.
3.
Kemampuan intelektualitas
Daya intelektual dan wawasan yang dimiliki
oleh seseorang akan menjadi faktor bagaimana orang lain akan bersikap terhadap
kita. Tenaga kerja Indonesia di luar negeri yang kerap mendapat penyiksaan dan
penganiayaan fisik, mayoritas berasal dari tenaga kerja non terdidik. Biasanya,
berasal dari kalangan pekerja rumah tangga yang
kebanyakan kaum wanita. Perspektif negara-negara maju memandang Indonesia
adalah sebuah negara besar yang masih miskin dan dilanda persoalan dalam negeri
yang tak kunjung putus.
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Munculnya
pilihan menjadi TKI bekerja sebagai pembantu rumah tangga di negeri orang
semakin hari terus meningkat tidak juga bisa kita salahkan. Fakta-
fakta yang memberi gambaran obyektif dan langsung dari kemiskinan
nyata banyak yang sukses menjadi TKI didepan mata, Lantas
dengan keterbatasan berpikir, hanya menjadi TKI lah bagi sebagian rakyat bisa
melepaskan diri dari kungkungan ekonomi dinegeri sendiri. Sebuah
fakta memang yang harus dilakukan oleh sebagian besar rakyat miskin yang
tidak memiliki kemampuan untuk berkompetitif dengan ketidak-tersediaan lapangan
kerja dalam negeri.
Keterlibatan
Negara terhadap penempatan dan perlindungan TKI memang memberi
keuntungan, disatu hal terbukti membawa dampak social yg baik
dan memberi keuntungan dalam sector ekonomi melalui devisa. Namun melihat
kemiskinan nyata yg signifikan serta kasus yang dialami TKI di luar
negeri yang kehilangan perlindungan , maka Negara terpojokan dalam posisi
dilematis. Disatu sisi Negara berhadapan kemiskinan dan disisi lain belum mampu
memberi perlindungan optimal bagi TKI.
Secara
hukum, persoalan TKI akan berada didalam wilayah ‘Dua Negara”. Dimana setiap
negara ditetapkan bertanggung jawab atas terjadinya tindakan
kesalahan. Sepanjang kejadian siksaan terhadap TKI, bisa
dibilang Negara telah lalai dalam tanggung-jawabnya. Hampir dipastikan
baik Negara asal maupun sejumlah Negara penempatan tidak berfungsi
efektif memberi pelayanan dan perlindungan TKI.
Sebetulnya,
dasar hokum hak dan perlindungan TKI sudah diatur dan diamanatkan oleh
konstitusi negara kita bahkan negara pengguna jasa tenaga kerja Indonesia.
Beberapa
aturan domestik itu diantaranya :
-
Pasal
27 Ayat 2 UUD 1945, "Tiap-tiap warga
negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan";
-
Pasal
28D Ayat 1 & 2, "Setiap orang berhak
atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama dihadapan hukum. Setiap orang berhak untuk bekerja serta
mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja".
-
Pasal
28G Ayat 1 & 2, "Setiap orang
berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan
harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan
perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu
yang merupakan hak asasi. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan dan
perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara
lain".
-
Peraturan Menteri Tenaga Kerja ; Per-02/Men/1994,
tentang Penempatan Tenaga Kerja Di dalam dan ke Luar Negeri dan Keputusan
Menteri Tenaga Kerja Nomor : Kep-44/Men/1994 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Penempatan Tenaga Kerja di Dalam dan di Luar Negeri, yang merupakan pengganti
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor : Per-06/Men/1987 tentang Bursa Kerja
Swasta dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per-01/Men/1991 tentang Antar
Kerja Antar Negara (AKAN), yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
keadaan masyarakat Indonesia.
-
Peraturan Menteri Tenaga Kerja, Per-02/Men/1994
tentang Penempatan Tenaga Kerja di Dalam dan di Luar Negeri, pelaksanaan
penempatan tenaga kerja di luar negeri ditetapkan dalam Bab II pasal 5 tentang
persyaratan kerja:
Regulasi Jaminan Perlindungan Hukum TKI Di
Luar Negeri (Arab Saudi)
Dalam peraturan Kerajaan
Arab Saudi, yaitu dalam The Basic Law of
Government pasal 17, (Basic Law 1 Maret 1992), ditetapkan bahwa :
pemilikan modal, dan tenaga kerja adalah dasar ekonomi dan
kehidupan social kerajaan yang semuanya menerapkan hak-hak peribadi yang
melayani fungsi social yang sesuai dengan syariah islam.[27]
Pasal
18, menetapkan bahwa negara
akan menjamin kebebasan dan tak dapat diganggu gugatnya kepemilihan pribadi.
Kepemilikan pribadi tidak akan disita, kecuali untuk kepentingan umum, dan
penyitaan akan dikompensasi secara wajar.[28]
Pasal 26, bahwa negara akan menyediakan kesempatan kerja kepada semua
rakyat yang sanggup dan akan menetapkan perundang-undangan untuk melindungi
pekerja dan majikan.[29]
Pasal
36, menyebutkan bahwa, negara
akan menjamin keamanan semua warga negara dan orang asing yang hidup dalam
tempat tinggalnya. Tidak ada orang yang akan ditahan, dipenjara, atau
tindakan-tindakannya dibatasi kecuali oleh ketentuan-ketentuan hokum.[30]
Pasal
47, menyatakan bahwa warga
negara dan penduduk asing keduanya mempunyai hak yang sama terhadap proses
peradilan.[31]
Sementara
dalam Royal Decree Nomor /M/21 tanggal 15 November 1969, mengenai Undang-Undang
Perburuhan Kerajaan Arab Saudi, pasal 3 menetapkan bahwa, sebagai
pengecualian pasal-pasal UU ini tidak termasuk kepada :[32]
a)
Pekerja dalam perusahaan
keluarga yang termasuk hanya anggota-anggota dari keluarga majikan;
b)
Orang yang bekerja di
peternakan atau pertanian dengan pengecualian ;
- orang-orang yang bekerja di perusahaan
pertanian yang memproses produksinya sendiri.
- Orang-orang yang bekerja secara permanen
dalam operasi atau perbaikan alat mekanis yang diperlukan untuk pertanian.
c)
Pembantu domestik dan
orang-orang yang dianggap seperti itu.
Jaminan perlindungan hukum bagi tenaga kerja
di Kerajaan Arab Saudi sebenarnya telah ada dan tercantum dalam perundangan,
baik dalam konstitusi, Basic Law, Maupun Labour
Law.
Jika perlindungan itu tidak ada, akan
diusahakan perdamaian antara tenaga kerja dengan pengguna jasa, Kedutaan
RI/Konsulat Jenderal RI di Arab Saudi cukup membantu dengan menyediakan tecaga
pengacara secara tetap.[33]
C.
Alternatif / Saran Penulis
Setelah melihat dan mengkaji
permasalahan di atas, serta berbagai referensi dari berbagai sumber, ada
bebarapa hal yang menurut penulis bisa menjadi jalan keluar dari permasalahan
klasik di atas, diantaranya
1.
Penciptaan Lapangan Kerja Baru
Pengiriman TKI besar-besaran adalah dampak dari kurang
tersedianya lapangan kerja di negara kita, sehingga angka pengangguran dan
kemiskinan semakin meningkat.
Banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi
dampak negatifpengangguran.
Salah satu diantaranya adalah membuka usaha sendiri. Selain memberdayakan diri,
membuka usaha berarti juga menciptakan lapangan pekerjaan bagi orang lain.
Pemerintah menggalakkan program kewirausahaan bagi para pemuda, mahasiswa dan remaja. Maksud
program ini jelas bahwa seorang mahasiswa yang telah lulus tidak semata-mata
mencari pekerjaan untuk dirinya sendiri. Tapi yang terpenting adalah
menciptakan lapangan kerja baru.
Program tersebut mencakup bantuan modal usaha maupun
pelatihan entrepreneurship di kalangan mahasiswa dan pemuda. Namun kini, banyak
juga anak muda yang memang sejak awal bercita-cita tidak menjadi pegawai. Bagi
mereka, sekolah atau kuliah tetap
penting tapi bukan yang utama.
Karena itu banyak kita jumpai, para mahasiswa yang sudah
mulai berbisnis kecil-kecilan. Ada yang turun langsung mengurus bisnisnya
sendiri. Namun adapula yang mempekerjakan orang lain sebagai pegawai, sementara
mereka bertindak sebagai manajer. Misalnya mahasiswa yang membuka bisnis makanan yang
dijajakan dengan gerobak dorong.
Walau nampak sederhana, usaha ini sungguh mulia. Mereka
sudah belajar untuk berbisnis, membuka lapangan kerja dan mengurangi dampak negatif
pengangguran. Setelah lulus, mereka dapat mengembangkan bisnisnya menjadi lebih
besar ataupun berbisnis baru yang lebih besar namun dengan ‘ilmu jalanan’
yang telah mereka dapatkan sebelumnya.
2.
Mencegah (bukan mengobati) Kekerasan pada TKI
Penyebab kekerasan
pada TKI bisa karena
beberapa hal, misalnya tidak adanya undang-undang yang benar-benar memberi
jaminan perlindungan terhadap TKI, kurangnya keterampilan TKI sehingga mendapat
marah sang majikan, dan masih banyak penyebab lain.
Berikut
ini beberapa cara untuk mencegah kekerasan TKI di luar negeri :
·
Bagi para calon TKI, sebaiknya gunakan jalur
penyaluran tenaga kerja yang legal dan terpercaya.Penyalur tenaga kerja yang
baik adalah lembaga/perusahaan yang bisa menentukan di mana sebaiknya TKI
tersebut bekerja sesuai kemampuannya.
·
Para penyalur TKI ke luar negeri hendaknya
memberi pembinaan dan pelatihan khusus pada calon TKI. Tak hanya tentang cara
bekerja, tapi juga bagaimana kebiasaan orang luar negeri dan tata cara
bersikap. Hal ini tentu
sangat berguna agar TKI tidak menjadi sasaran kemarahan majikan karena salah mengerjakan tugas.
·
Baik penyalur maupun pemerintah hendaknya
selalu memantau para TKI agar kekerasan pada TKI bisa diminimalisir, seperti
memberlakukan aturan kepada setiap TKI di luar negeri agar melakukan pelaporan
setiap 3 bulan sekali agar TKI tersebut terpantau dan bisa diketahui
keadaannya.
·
Pemerintah harus menindak tegas para penyalur
TKI ilegal yang bisa menyebabkan para calon TKI mendapat hal-hal yang tidak
menyenangkan saat bekerja di luar negeri.
·
Pemerintah harus bisa memberi jaminan
perlindungan terhadap para TKI di luar negeri. Selama ini, undang-undang
tentang TKI tidak bisa melindungi para pekerja tersebut dengan baik. Sampai
saat ini, pemerintah masih dinilai sangat lemah dalam menangani kasus kekerasan pada TKI.
·
Pemerintah harus benar-benar bekerja sama
secara baik dengan pemerintah tempat TKI bekerja, menjalin suatu perjanjian untuk melindungi para TKI dari tindak kekerasan.
Itulah
beberapa cara untuk mencegah kekerasan pada TKI. Dalam hal ini Pemerintah
adalah faktor penting dalam keselamatan para TKI yang sedang bekerja di
luar negeri.
Memang
harus diakui, pencegahan kekerasan pada TKI ini memang sangat sulit karena
menyangkut watak orang lain (majikan), apalagi pemerintah Indonesia tidak bisa menuntut
pelaku kekerasan begitu saja karena tidak terjadi dalam wilayah Indonesia.
Namun,
ada satu cara lagi untuk mencegah kekerasan pada TKI, yaitu menghentikan
pengiriman TKI ke luar negeri. Pemerintah harus sadar, kenapa banyak sekali
masyarakat yang tetap ingin menjadi TKI walau sudah banyak kasus kekerasan yang
disebarkan oleh media.
Penyebabnya
tentu karena faktor ekonomi yang rendah, yang kemudian mendorong masyarakat untuk mencari rezeki di luar negeri yang gajinya mungkin
bisa lebih banyak daripada di Indonesia.
Untuk
itu pemerintah sebaiknya serius untuk mengentaskan kemiskinan di negara ini,
agar masyarakat bisa hidup tentram dan tidak terpaksa ke luar negeri hanya
untuk mencari uang.
[1] Republika, 10 September 1996
[4] I b i d
[5] vivanews.com
[6] I b I d
[8] I b i d
[9] I b i d
[10] I b I d
[11] Ismail Sunny (Ketika Menjabat
Duta Besar RI untuk Arab Saudi (1994)
[12] Q.S. 2 ayat 86
[13] hadits
[14] The Basic Law of Government pasal 17
[15] I b I d
[16] I b I d
[17] I b I d
[18] I b I d
[19] Royal Decree (Undang-undang
Perburuhan Kerajaan Arab Saudi)
[20] Ismail Sunny, Republika, 10
September 1996)
[21] , Republika, 10 September 1996)
[23] Pasal 5 Universal Declaration of Human Rights
[24] Pasal 7 International Covenant on Civil and Political
Rights
[27] The Basic Law of Government pasal 17
[28] I b I d
[29] I b I d
[30] I b I d
[31] I b I d
[32] Royal Decree (Undang-undang
Perburuhan Kerajaan Arab Saudi)
[33] , Republika, 10 September
1996)