Ekonomi Indonesia
Ekonomi Indonesia
Indonesia memiliki ekonomi berbasis-pasar di mana pemerintah memainkan peranan penting. Pemerintah memiliki lebih dari 164 BUMN dan menetapkan harga beberapa barang pokok, termasuk bahan bakar, beras, dan listrik. Setelah krisis finansial Asia yang dimulai pada pertengahan 1997, pemerintah menjaga banyak porsi dari aset sektor swasta melalui pengambilalihan pinjaman bank tak berjalan dan asset perusahaan melalui proses penstrukturan hutang.
Latar belakang
Selama lebih dari 30 tahun pemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto, ekonomi Indonesia tumbuh dari GDP per kapita $70 menjadi lebih dari $1.000 pada 1996. Melalui kebijakan moneter dan keuangan yang ketat, inflasi ditahan sekitar 5%-10%, rupiah
stabil dan dapat diterka, dan pemerintah menerapkan sistem anggaran
berimbang. Banyak dari anggaran pembangunan dibiayai melalui bantuan asing.
Pada pertengahan 1980-an
pemerintah mulai menghilangkan hambatan kepada aktivitas ekonomi.
Langkah ini ditujukan utamanya pada sektor eksternal dan finansial dan
dirancang untuk meningkatkan lapangan kerja dan pertumbuhan di bidang
ekspor non-minyak. GDP nyata tahunan tumbuh rata-rata mendekati 7% dari 1987-1997, dan banyak analisis mengakui Indonesia sebagai ekonomi industri dan pasar utama yang berkembang.
Tingkat
pertumbuhan ekonomi yang tinggi dari 1987-1997 menutupi beberapa
kelemahan struktural dalam ekonomi Indonesia. Sistem legal sangat lemah,
dan tidak ada cara efektif untuk menjalankan kontrak, mengumpulkan
hutang, atau menuntut atas kebangkrutan.
Aktivitas bank sangat sederhana, dengan peminjaman
berdasarkan-"collateral" menyebabkan perluasan dan pelanggaran
peraturan, termasuk batas peminjaman. Hambatan non-tarif, penyewaan oleh
perusahaan milik negara, subsidi domestik, hambatan ke perdagangan
domestik, dan hambatan ekspor seluruhnya menciptakan gangguan ekonomi.
Krisis finansial Asia Tenggara yang melanda Indonesia pada akhir 1997
dengan cepat berubah menjadi sebuah krisis ekonomi dan politik. Respon
pertama Indonesia terhadap masalah ini adalah menaikkan tingkat suku
bunga domestik untuk mengendalikan naiknya inflasi dan melemahnya nilai tukar rupiah, dan memperketat kebijakan fiskalnya. Pada Oktober 1997, Indonesia dan International Monetary Fund
(IMF) mencapai kesepakatan tentang program reformasi ekonomi yang
diarahkan pada penstabilan ekonomi makro dan penghapusan beberapa
kebijakan ekonomi yang dinilai merusak, antara lain Program Permobilan
Nasional dan monopoli, yang melibatkan anggota keluarga Presiden
Soeharto. Rupiah masih belum stabil dalam jangka waktu yang cukup lama,
hingga pada akhirnya Presiden Suharto terpaksa mengundurkan diri pada
Mei 1998. Di bulan Agustus 1998, Indonesia dan IMF menyetujui program
pinjaman dana di bawah Presiden B.J Habibie. Presiden Gus Dur yang terpilih sebagai presiden pada Oktober 1999 kemudian memperpanjang program tersebut.
Kajian Pengeluaran Publik
Sejak
krisis keuangan Asia di akhir tahun 1990-an, yang memiliki andil atas
jatuhnya rezim Suharto pada bulan Mei 1998, keuangan publik Indonesia
telah mengalami transformasi besar. Krisis keuangan tersebut menyebabkan
kontraksi ekonomi yang sangat besar dan penurunan yang sejalan dalam
pengeluaran publik. Tidak mengherankan utang dan subsidi meningkat
secara drastis, sementara belanja pembangunan dikurangi secara tajam.
Saat
ini, satu dekade kemudian, Indonesia telah keluar dari krisis dan
berada dalam situasi dimana sekali lagi negara ini mempunyai sumber daya
keuangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pembangunan. Perubahan ini
terjadi karena kebijakan makroekonomi yang berhati-hati, dan yang
paling penting defisit anggaran yang sangat rendah. Juga cara pemerintah
membelanjakan dana telah mengalami transformasi melalui "perubahan
besar" desentralisasi tahun 2001 yang menyebabkan lebih dari sepertiga
dari keseluruhan anggaran belanja pemerintah beralih ke pemerintah
daerah pada tahun 2006. Hal lain yang sama pentingnya, pada tahun 2005,
harga minyak internasional yang terus meningkat menyebabkan subsidi
minyak domestik Indonesia tidak bisa dikontrol, mengancam stabilitas
makroekonomi yang telah susah payah dicapai. Walaupun terdapat risiko
politik bahwa kenaikan harga minyak yang tinggi akan mendorong tingkat
inflasi menjadi lebih besar, pemerintah mengambil keputusan yang berani
untuk memotong subsidi minyak.
Keputusan tersebut memberikan US$10 milyar [4] tambahan untuk pengeluaran bagi program pembangunan. Sementara itu, pada tahun 2006 tambahan US$5 milyar [5]
telah tersedia berkat kombinasi dari peningkatan pendapatan yang
didorong oleh pertumbuhan ekonomi yang stabil secara keseluruhan dan
penurunan pembayaran utang, sisa dari krisis ekonomi. Ini berarti pada
tahun 2006 pemerintah mempunyai US$15 milyar [6]
ekstra untuk dibelanjakan pada program pembangunan. Negara ini belum
mengalami 'ruang fiskal' yang demikian besar sejak peningkatan
pendapatan yang dialami ketika terjadi lonjakan minyak pada pertengahan
tahun 1970an. Akan tetapi, perbedaan yang utama adalah peningkatan
pendapatan yang besar dari minyak tahun 1970-an semata-mata hanya
merupakan keberuntungan keuangan yang tak terduga. Sebaliknya, ruang
fiskal saat ini tercapai sebagai hasil langsung dari keputusan kebijakan
pemerintah yang hati hati dan tepat.
Walaupun
demikian, sementara Indonesia telah mendapatkan kemajuan yang luar
biasa dalam menyediakan sumber keuangan dalam memenuhi kebutuhan
pembangunan, dan situasi ini dipersiapkan untuk terus berlanjut dalam
beberapa tahun mendatang, subsidi tetap merupakan beban besar pada
anggaran pemerintah. Walaupun terdapat pengurangan subsidi pada tahun
2005, total subsidi masih sekitar US$ 10 milyar [7] dari belanja pemerintah tahun 2006 atau sebesar 15 persen dari anggaran total.
Berkat
keputusan pemerintahan Habibie (Mei 1998 - Agustus 2001) untuk
mendesentralisasikan wewenang pada pemerintah daerah pada tahun 2001,
bagian besar dari belanja pemerintah yang meningkat disalurkan melalui
pemerintah daerah. Hasilnya pemerintah propinsi dan kabupaten di
Indonesia sekarang membelanjakan 37 persen [8] dari total dana publik, yang mencerminkan tingkat desentralisasi fiskal yang bahkan lebih tinggi daripada rata-rata OECD.
Dengan
tingkat desentralisasi di Indonesia saat ini dan ruang fiskal yang kini
tersedia, pemerintah Indonesia mempunyai kesempatan unik untuk
memperbaiki pelayanan publiknya yang terabaikan. Jika dikelola dengan
hati-hati, hal tersebut memungkinkan daerah-daerah tertinggal di bagian
timur Indonesia untuk mengejar daerah-daerah lain di Indonesia yang
lebih maju dalam hal indikator sosial. Hal ini juga memungkinkan
masyarakat Indonesia untuk fokus ke generasi berikutnya dalam melakukan
perubahan, seperti meningkatkan kualitas layanan publik dan penyediaan
infrastruktur seperti yang ditargetkan. Karena itu, alokasi dana publik
yang tepat dan pengelolaan yang hati-hati dari dana tersebut pada saat
mereka dialokasikan telah menjadi isu utama untuk belanja publik di
Indonesia kedepannya.
Sebagai contoh, sementara anggaran pendidikan telah mencapai 17.2 persen [9] dari total belanja publik- mendapatkan alokasi tertinggi dibandingkan sektor lain dan mengambil sekitar 3.9 persen [10] dari PDB pada tahun 2006, dibandingkan dengan hanya 2.0 persen dari PDB pada tahun 2001[11] - sebaliknya total belanja kesehatan publik masih dibawah 1.0 persen dari PDB [12].
Sementara itu, investasi infrastruktur publik masih belum sepenuhnya
pulih dari titik terendah pasca krisis dan masih pada tingkat 3.4 persen
dari PDB [13].
Satu bidang lain yang menjadi perhatian saat ini adalah tingkat
pengeluaran untuk administrasi yang luar biasa tinggi. Mencapai sebesar
15 persen pada tahun 2006 [14], menunjukkan suatu penghamburan yang signifikan atas sumber daya publik.
Sumber : Wikipedia