Peranan Hukum Dalam Ekonomi Pasar : Studi Kasus Indonesia
Peranan Hukum Dalam Ekonomi Pasar :
Studi Kasus Indonesia
Oleh: Ditha
Wiradiputra
Pendahuluan
Runtuhnya Komunisme di Uni Sovyet dan Eropa Timur
tahun 1980-an menjadi salah satu perubahan penting di dunia selama setengah
abad ini. Dimana Negara-negara tersebut sebelumnya mempercayai bahwa
perencanaan yang terpusat oleh Pemerintah dalam perekonomian adalah yang
terbaik. Sehingga Pemerintahlah yang kemudian dipercaya untuk memutuskan barang
dan jasa yang akan dihasilkan dan yang akan mengkonsumsinya di dalam
perekonomian. Dimana hal ini didasarkan atas teori yang mengatakan bahwa
pemerintah dapat mengorganisasikan suatu perekonomian agar kemakmuran suatu
negara dapat tercapai.[1]
Akhirnya, kebanyakan negara yang semula menganut
perekonomian yang terpusat (tersentralisasi) mulai meninggalkan sistem
tersebut, dan mulai mencoba mengembangkan perekonomian pasar. Dimana dalam
sebuah perekonomian pasar (market economy),
keputusan-keputusan yang tersentralisasi pada Pemerintah digantikan oleh
keputusan dari jutaan perusahaan dan rumah tangga. Perusahaan memutuskan siapa
yang akan diperkerjakan dan barang yang akan dihasilkan, kemudian rumah tangga
menentukan akan kerja diperusahaan mana, dan akan membeli apa dengan pendapatan
yang mereka miliki. Perusahaan dan rumah tangga akan saling berinteraksi di
pasar, dimana harga dan kepentingan pribadi memandu keputusan-keputusan yang
mereka buat.[2]
Inti dari ekonomi pasar adalah terjadinya
desentralisasi keputusan berkaitan dengan ”apa”, ”berapa banyak”, dan ”cara”
proses produksi. Setiap individu diberikan kebebasan untuk mengambil keputusan.
Hal ini juga berarti bahwa di dalam mekanisme ekonomi pasar terdapat cukup
banyak individu yang independen baik dari sisi produsen maupun dari sisi
konsumen.[3]
Lebih lanjut pada ekonomi pasar bagi sebagian
kalangan dipercaya dapat membawa perekonomian kearah yang lebih efesien, dimana
sumber daya yang ada dalam perekonomian dapat termanfaatkan secara lebih
optimal, dan juga tidak diperlukan adanya perencanaan dan pengawasan dari pihak
manapun. Atau dengan kata lain ”serahkan saja semuanya kepada pasar,” dan suatu
invisible hand yang nantinya akan
membawa perekonomian kearah keseimbangan, dan dalam posisi keseimbangan, sumber
daya yang ada dalam perekonomian dimanfaatkan secara lebih maksimal.[4]
Kemudian hampir sebagian besar negara berkembang,
pada dekade 1980-an dan 1990-an dengan kecepatan yang berbeda-beda, mulai
bergerak menuju sistem perekonomian pasar. Meskipun kemungkinan sebagian negara
tersebut melakukan hal itu atas anjuran Bank Dunia, yang sering menjadikannya
syarat dalam pemberian bantuan-bantunannya. Dan tampaknya telah muncul semacam
konsensus bahwa peran aktif pemerintah dalam perekonomian perlu dikurangi, dan
pasar perlu diberikan keluluasaan lebih besar demi tumbuhnya perekonomian yang
lebih efesien.[5]
Selanjutnya sebagian besar negara berkembang
berharap dengan mereka menerapkan perekonomian pasar, dan mulai mengurangi
banyaknya campur tangan pemerintah, dapat lebih membawa mereka kearah kemajuan
seperti yang dinikmati oleh negara-negara barat sekarang ini, yaitu
kesejahteraan ekonomi.
Namun kenyataannya hal di atas tidak seperti yang
semudah dibayangkan oleh negara-negara tersebut, karena efektifitas pasar
memerlukan adanya dukungan institusional, kultural dan perangkat hukum
tertentu, yang kebanyakan tidak atau belum dimiliki oleh negara-negara
berkembang. Dibanyak negara berkembang, perangkat hukum dan institusionalnya,
kalaupun ada masih sangat lemah guna mendukung beroperasinya ekonomi pasar
secara efektif dan efesien. Tanpa adanya sistem hukum yang mapan, misalnya
segala kontrak dan perjanjian bisnis hanya akan tinggal diatas kertas; hak
cipta hanya sebuah buah bibir; dan kurs atau mata uangpun bisa berubah kapan
saja. Dimana situasi kepastian hukum begitu minim, jelaslah bisnis tidak akan
berkembang begitu baik.[6]
Belum lagi ternyata sesungguhnya perekonomian
pasar jauh dari sempurna, dimana sulitnya mendapatkan informasi pasar yang
mencukupi bagi konsumen maupun produsen mengenai harga, kuantitas, dan kualitas
produk serta sumber, dan terkadang untuk mendapatkan suatu informasi diperlukan
biaya yang tinggi, ditambah keberadaan skala ekonomi diberbagai sektor utama
perekonomian menciptakan hambatan masuk (entry
barrier) bagi pelaku usaha yang ingin berusaha pada sektor yang sama.
Sehingga pada gilirannya hal diatas mengakibatkan alokasi sumber daya yang
tidak tepat, dan hal ini merupakan yang tidak diharapkan oleh negara-negara
tersebut ketika mereka mulai menerapkan ekonomi pasar di negara mereka.
Dan ketika negara-negara tersebut menerapkan
perekonomian pasar sebagai sistem perekonomian mereka, ternyata yang didapatkan
oleh mereka justru ketidak sempurnaan pasar (imperfect market), yang dikhawatirkan akan membawa negara-negara
tersebut kearah jebakan keterbelakangan.
Sebenarnya salah satu sumber permasalah utama
tidak tercapainya tujuan negara-negara tersebut di atas dikarenakan pasar dan
mekanisme pasar bukan ”segala-galanya”, atau merupakan ”invisible hand” yang selalu mampu mengendalikan kekacauan pasar ke
arah keseimbangan, sebagaimana yang dikemukakan oleh para ekonom kelembagaan (institutional economist).[7]
Selanjutnya pemikir ilmu ekonomi klasik dan neo
klasik mengasumsikan dalam perekonomian ”tidak ada biaya transaksi” (zero transaction cost) dan rasionalitas
instrumental (instrumental rationality).
Dan implikasinya, setiap individu diandaikan bekerja hanya menurut insentif
ekonomi, tanpa meperdulikan oleh beragam aspek, misalnya sosial budaya,
politik, hukum, dan sebagainya. Dan bagi ekonom kelembagaan dianggap tidak
relistis.[8]
Padahal kenyataannya menurut para ekonom
kelembagaan kegiatan perkonomian sangat dipengaruhi oleh tata letak antar
pelaku ekonomi (teori ekonomi politik), desain aturan main (teori ekonomi biaya
transaksi), norma dan keyakinan suatu individu/komunitas (terori modal sosial),
insentif untuk melakukan kolaborasi (teori tindakan kolektif), model
kesepakatan yang dibikin (teori kontrak), pilihan atas kepemilikan aset fisik
maupun non fisik (teori hak kepemilikan), dan lain-lain. Intinya, selalu ada
insentif bagi individu untuk berprilaku menyimpang sehingga sistem ekonomi
tidak bisa hanya dipandu oleh pasar. Dalam hal ini diperlukan kelembagan non
pasar untuk melindungi agar pasar tidak terjebak dalam kegagalan yang tidak
berujung, yakni dengan mendesain aturan main/kelembagaan (institutions). Pada level makro, kelembagaan tersebut berisi
seperangkat aturan politik, sosial dan hukum yang memapankan kegiatan produksi,
pertukaran dan distribusi. Dan pada level mikro, kelembagaan berisi masalah
tata kelola aturan main agar pertukaran antar unit ekonomi dapat berlangsung,
baik lewat cara kerjasama maupun kompetisi.[9]
Dan merujuk pada pandangan aliran ekonomi
neoklasik menganggap pasar berjalan secara sempurna tanpa biaya apapun (costless) karena pembeli (consumers) memiliki informasi yang
sempurna dan penjual (producers)
saling berkompetisi menghasilkan biaya yang rendah. Akan tetapi pada
kenyataannya faktanya adalah sebaliknya, dimana informasi, kompetisi, sistem
kontrak, dan proses jual beli dapat sangat asimetris. Inilah yang kemudian
menimbulkan biaya transaksi[10]
dan menyebabkan inefesiensi di dalam perekonomian.
Peranan Hukum Dalam Ekonomi Pasar
Indonesia juga mengalami seperti yang dialami oleh
sebagian besar negara berkembang lainnya, meskipun tidak secara tegas
pemerintah menyatakan bahwa Indonesia sebagai salah satu ”penganut” sistem
ekonomi pasar, sesungguhnya Indonesia sudah mulai menerapkan sitem ekonomi ini
untuk memandu perekonomiannya, sejak terlibat dalam organisasi-organisasi
perdagangan dunia baik secara regional maupun multilateral seperti GATT, AFTA,
WTO, dan lain-lain.
Reorientasi sistem ekonomi ke arah ekonomi pasar
juga sebenarnya telah dilakukan sejak diluncurkannya kebijaksanaan-kebijaksanaan
deregulasi pada tahun 1983. Dimana kebijaksanaan
deregulasi tersebut bertujuan untuk memperkuat berkerjanya ekonomi pasar di
Indonesia. Dalam hal ini Pemerintah mulai mengarahkan pengalokasian segala
sumber daya dan harga menurut keinginan dan kehendak pasar.[11]
Bahkan lebih jauh menurut Normin S. Pakpahan, selama tiga dasawarsa sejak
Pelita I sesungguhnya Indonesia telah menyelenggarakan ekonomi pasar.[12]
Dan kemudian yang terjadi pada sebagian besar
negara berkembang ternyata menimpa juga pada Indonesia, dimana sistem ekonomi
pasar yang di adopsi Indonesia tidak dapat berkerja secara maksimal seperti
yang diharapkan sebelumnya, hal itu dikarenakan
banyaknya kendala internal yang ada pada Indonesia sendiri, yang kemudian
membuat perekonomian pasar tidak bisa berjalan secara baik. Sistem ekonomi pasar
yang diharapkan dapat menyehatkan perekonomian Indonesia yang terjadi justru
sebaliknya sistem ekonomi pasar malahan menyuburkan praktek monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat di dalam
pasar, dan menyebabkan pasar menjadi semakin tidak efesien.
Merujuk pada pandangan aliran ekonomi neoklasik
menganggap pasar berjalan secara sempurna tanpa biaya apapun (costless) karena pembeli (consumers) memiliki informasi yang
sempurna dan penjual (producers)
saling berkompetisi menghasilkan biaya yang rendah. Akan tetapi pada
kenyataannya faktanya adalah sebaliknya, dimana informasi, kompetisi, sistem
kontrak, dan proses jual beli dapat sangat asimetris.
Tidak berfungsinya sistem ekonomi pasar, juga disebabkan
Indonesia sebelumnya tidak tersedia aturan main atau kelembagaan terlebih
dahulu di dalam pasar, yang akan mengarahkan perilaku-perilaku pelaku ekonomi
di dalam pasar, agar mereka tidak berperilaku menyimpang di dalam pasar, dengan
berusaha menghindari terjadinya persaingan yang sehat di antara pelaku ekonomi,
dengan maksud agar mereka dapat mengeksploitasi surplus konsumen
sebanyak-banyaknya dan mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya.
Salah satu kelembagaan non pasar yang diharapkan
dapat melindungi pasar agar tidak terjebak dalam kegagalan yang tidak berujung
adalah melalui adanya kelembagaan hukum ekonomi yang kuat. Ketiadaan
kelembagaan hukum ekonomi yang kuat diduga sebagai penyebab ekonomi pasar tidak
dapat bekerja sebagaimana yang diharapkan, yaitu menciptakan kesejahteraan bagi
rakyat banyak.
Kelembagaan hukum ekonomi yang kuat jika merujuk
kepada pendapat dari Prof. Erman Rajagukguk ialah kelembagaan hukum ekonomi
yang lebih kurang mampu menciptakan "stability",
"predictability" dan "fairness".[13]
Selanjutnya dua hal yang pertama adalah
prasyarat bagi sistim ekonomi apa saja untuk berfungsi. Termasuk dalam fungsi
stabilitas (stability) adalah potensi
hukum menyeimbangkan dan mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang saling
bersaing.[14]
Kebutuhan fungsi hukum untuk dapat meramalkan (predictability) akibat dari suatu langkah-langkah
yang diambil khususnya penting bagi negeri yang sebagian besar rakyatnya untuk
pertama kali memasuki hubungan-hubungan ekonomi melampaui lingkungan sosial
yang tradisional. Aspek keadilan (fairness),
seperti, perlakuan yang sama dan standar pola tingkah laku Pemerintah adalah
perlu untuk menjaga mekanisme pasar dan mencegah birokrasi yang berlebihan.[15]
Dan yang tidak kalah penting, jika sedikit mengutip pendapat Prof.
Charles Himawan bahwa adanya badan peradilan yang andal (reliable judiciary) juga sangat menentukan bagi proses hukum
terhadap sengketa-sengkata bisnis yang dihadapi oleh pelaku ekonomi.[16]
Sedangkan kelembagaan hukum ekonomi yang ada pada
waktu ketika Indonesia mulai menerapkan sistem ekonomi pasar, jika merujuk
kepada pendapat dari Prof. Hikmahanto Juwana, telah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan yang ada.[17]
Sehingga perlu dilakukan penyesuaian kelembagaan hukum ekonomi yang ada agar
dapat mendukung berkerjanya ekonomi pasar di Indonesia. Dan penyesuaian kelembagaan
hukum ekonomi ini dilakukan dengan cara salah satunya melalui proses
transplantasi hukum dari Amerika Serikat
dan Eropa[18] ke
dalam kelembagaan hukum ekonomi Indonesia.
Dengan proses transplantasi hukum ini diharapkan
dapat membuat kelembagaan hukum ekonomi yang ada di Indonesia dapat menjadi
lebih modern, dan dapat lebih mengakomodir kebutuhan-kebutuhan masa kini yang
terkait dengan aktifitas ekonomi yang belum bisa dipenuhi oleh kelembagaan
hukum ekonomi yang ada di Indonesia.
Kemudian jika merujuk kepada pendapat Lawrence
Friedman mengenai tiga unsur sistem hukum yaitu struktur, substansi dan budaya
hukum apabila dikaitkan dengan kelembagaan hukum ekonomi. Maka struktur adalah
kerangka atau rangkanya, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberikan
semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan. Di Indonesia misalnya, jika
kita berbicara tentang struktur sistem hukum, maka termasuk didalamnya struktur
institusi-institusi penegakkan hukum, seperti kepolisian, kejaksaan dan
pengadilan.[19]
Dan bila kita berbicara mengenai struktur
institusi penegakkan hukum yang ada pada waktu ketika Indonesia mulai
menerapkan ekonomi pasarnya, masih belum begitu bersahabat dengan pasar (market friendly) atau dapat diartikan
struktur institusi penegakkan hukumnya belum dapat mendukung berjalannya
aktfitas ekonomi secara baik. Hal ini dapat dilihat dari proses hukum yang berlarut-larut
terhadap suatu kasus yang membuat hilangnya kepastian hukum dalam proses penegakkan
hukum yang ada, belum lagi hasil dari proses penegakkan hukum yang ada belum
bisa menjamin pihak yang benar yang akan menang. Dan hal inilah yang kemudian
membuat institusi penegakkan hukum tidak bisa diharapkan terlalu banyak dapat
menyelesaikan sengketa bisnis yang terjadi diantara pelaku ekonomi di dalam
pasar dengan baik. Sehingga tidak heran kalangan pelaku ekonomi di Indonesia
lebih memilih menyelesaikan sengketa bisnis mereka dengan menggunakan lembaga
arbitrase dibandingkan mereka harus mempercayakan penyelesaian sengketa
bisnisnya pada pengadilan di Indonesia.
Selanjutnya mengenai substansi hukum, masih merujuk
kepada pendapat Friedman, adalah aturan,
norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada di dalam sistem. Dan substansi
juga bisa berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem
hukum itu, mencakup keputusan yang mereka hasilkan, aturan baru yang mereka
susun. Substansi juga mencakup living law
(hukum yang hidup), dan bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang.[20]
Dan pada waktu Indonesia menerapkan sistem ekonomi
pasar, substansi hukum ekonomi yang harus ada sebagai prasyarat yang dapat
mendukung bisa berjalan atau tidaknya ekonomi pasar belum tersedia pada waktu
itu, yaitu antara lain memiliki hukum persaingan usaha. Hukum persaingan usaha
adalah salah satu aturan hukum yang harus dimiliki oleh setiap negara jika
mereka menerapkan sitem ekonomi pasar sebagai sistem ekonominya. Dan Hukum
persaingan usaha merupakan salah satu instrumen yang dipercaya mampu untuk
memperbaiki kegagalan pasar yang diakibatkan dari persaingan yang tidak
sempurna di dalam pasar.[21]
Dan kemudian yang terjadi akibat Indonesia belum
memiliki hukum persaingan usaha adalah sistem ekonomi pasar yang ada malahan
menghasikan maraknya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di dalam
pasar, dan pasar yang diharapkan dapat menghasilkan pemanfaatan sumberdaya yang
lebih maksimal dan efesien yang terjadi justru sebaliknya, perekonomian
Indonesia menjadi begitu tidak efesien dan kehilangan daya saingnya dengan
negara lain.
Serta hukum kepailitan yang berlaku pada waktu itu
yang masih merupakan warisan masa kolonial juga berkontribusi bagi tidak
terlindunginya pelaku ekonomi dari perilaku pelaku ekonomi yang seharusnya
tidak layak lagi menjalankan usahanya tetapi karena hukum kepailitan yang ada
belum baik serta proses peneggakannya yang masih memakan waktu yang lama
membuat banyak pelaku ekonomi menjadi korban akibat dari ulah sekelompok pelaku
ekonomi yang seharusnya tidak layak lagi untuk melanjutkan usahanya di dalam
pasar.
Lebih lanjut mengenai budaya hukum menurut
Friedman adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum, nilai,
pemikiran, serta harapannya. Atau dengan kata lain jika menurut pendapat Prof
Achmad Ali, budaya hukum adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang
menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari dan disalahgunakan. Tanpa
budaya hukum, maka sistem hukum itu tidak berdaya.[22]
Rendahnya budaya hukum yang berlaku di Indonesia
juga berkontribusi bagi tidak berfungsinya ekonomi pasar secara baik. Kurang
menghargai kontrak-kontrak yang sudah dibuat di dalam bisnis merupakan salah
satu bentuk manifestasi budaya hukum yang tidak baik.
Dan belum terbangunnya budaya hukum yang baik juga
cukup berkontribusi bagi tidak berfungsinya beberapa kelembagaan hukum yang ditransplantasi
dari negara-negara maju di Indonesia, karena budaya hukum yang ada begitu
berbeda dengan budaya hukum negara dimana kelembagaan hukum ekonomi yang
ditransplantasi itu berasal.
Dan sedikit mengutip kalimat dari Prof. Satjipto
Rahardjo bahwa ekonomi kurang dapat berkerja dan melakukan perencanaan dengan
baik tanpa didukung oleh tatanan normatif yang berlaku, yang tidak lain adalah
hukum.[23]
atau dengan kata lain tanpa adanya dukungan yang kuat dari kelembagaan hukum
ekononomi yang ada sudah barang tentu sistem ekonomi pasar yang dianut oleh
Indonesia tidak akan berjalan sebagaimana yang diharapkan.
Penutup
Agar dapat ekonomi pasar Indonesia berjalan sesuai
dengan yang diharapkan, yaitu dapat membuat perekonomian Indonesia menjadi
lebih efesien, sangat ditentukan oleh dukungan dari kelembagaan hukum ekonomi
yang kuat. Tanpa adanya dukungan dari kelembagaan hukum ekonomi yang kuat sulit
bagi ekonomi pasar dapat bejalan secara baik.
Ekonomi pasar dengan kelembagaan hukum ekonomi
merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, meskipun terkadang
perkembangan kelembagaan hukum ekonomi selalu tertinggal dari perkembangan
ekonomi pasar. Namun seharusnya kelembagaan hukum ekonomi dapat selalu
mengikuti perkembangan ekonomi pasar.
Daftar
Pustaka
Adam, Rainer,
Samuel Siahaan dan A.M. Trianggraini, Persaingan dan Ekonomi Pasar di
Indonesia, (Jakarta: Friedrich Nauman Stiftung-Indonesia, 2006).
Ali, Achmad,
Keterpurukan Hukum di Indonesia: Penyebab dan Solusinya, (Jakarta: Penerbit
Ghalia Indonesia, 2002)
Deliarnov,
Perkembangan Pemikiran Ekonomi, Edisi Revisi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Prada,
2005).
Himawan,
Charles, Hukum Sebagai Panglima, Cet.1, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003).
Juwana,
Hikmahanto, ” Politik Hukum UU bidang Ekonomi di Indonesia.” bahan kuliah ke-2
Aspek Hukum dalam Kebijakan Ekonomi Angkatan XV PD Program Magister Perencanaan
Kebijakan Publik-FEUI.
Khemani, R.
Shyam (project director), “A framework for the design and implementation of
competition law and policy,” (Washington DC and Paris: World Bank, OECD, 1998).
Mankiw, N
Gregory, Pengatar Ekonomi Makro, Edisi tiga, (jakarta: Salemba Empat, 2006).
Mubyarto,
Membangun Sistem Ekonomi, Cetakan Pertama, (Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 2000).
Michael P.
Todaro dan Stephen C. Smith, Pembangunan
Ekonomi di Dunia Ketiga, (Jakarta: Erlangga, 2003).
Pakpahan, Normin S. ”Pokok-Pokok Pikiran Kerangka
Kerja Acuan Pembuatan RUU tentang Persaingan.” Dalam Jurnal Hukum Bisnis Volume
4 Tahun 1998.
________________ .” Rangkuman Seminar ELIPS Penemuan
Hukum Persaingan: Suatu Layanan Analitik Komparatif.” Dalam jurnal Hukum Bisnis
Volume 4 Tahun 1998.
Rahardjo, Satjipto, Sisi-Sisi Lain Dari Hukum Di
Indonesia, (Jakarta: Penerbit Buku
Kompas, 2003).
Rajagukguk, Erman. ” Hukum Ekonomi Indonesia
Memperkuat Persatuan Nasional, Mendorong Pertumbuhan Ekonomi dan Memperluas
Kesejahteraan Sosial,” Makalah disampaikan pada Seminar dan Lokakarya
Pembangunan Hukum Nasional ke VIII yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan
Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Denpasar, 14-18
Juli 2003.
Yustika, Ahmad Erani. 2006. Ekonomi Kelembagaan:
Defenisi, Teori dan Strategi. Edisi Pertama, Jawa Timur, Bayu Media Publishing.
[1] N.
Gregory Mankiw. Pengantar Ekonomi Makro,
edisi tiga, (Jakarta: Salemba Empat, 2006), hal. 11.
[2] Ibid.
[3]
Samuel Siahaan, “Ekonomi Pasar, Perlindungan Persaingan dan Pedoman Pelaku
Usaha,” dalam buku Persaingan dan Ekonomi
Pasar di Indonesia yang ditulis oleh Rainer Adam, Samuel Siahaan dan A.M.
Trianggraini. Jakarta: Friedrich Nauman Stiftung-Indonesia. Hal.43.
[4]
Deliarnov, Perkembangan Pemikiran Ekonomi,
Edisi Revisi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Prada, 2005), hal.40.
[5]
Michael P. Todaro dan Stephen C. Smith,
Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, (Yakarta: Erlangga, 2003), hal. 80.
[6] Ibid., hal. 81.
[7] Mubyarto,
Membangun Sistem Ekonomi, Cetakan
Pertama, (Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 2000) hal.100.
[8] Ahmad
Erani Yustika. Edisi Pertama, Ekonomi
Kelembagaan: Defenisi, Teori dan Strategi (Jawa Timur: Bayu Media
Publishing, 2006), Hal.xi.
[9] Ibid., hal. Xii.
[10] Ibid., hal. 104.
[11]
Normin S. Pakpahan, “Pokok-Pokok Pikiran Kerangka Kerja Acuan Pembuatan RUU
tentang Persaingan.” Dalam Jurnal Hukum Bisnis Volume 4 Tahun 1998. hal.26.
[12]
Normin S. Pakpahan, “Rangkuman Seminar ELIPS Penemuan Hukum Persaingan: Suatu
Layanan Analitik Komparatif.” Dalam jurnal Hukum Bisnis Volume 4 Tahun 1998.
hal.19.
[13]
Erman Rajagukguk, “Hukum Ekonomi Indonesia Memperkuat Persatuan Nasional,
Mendorong Pertumbuhan Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial,” Makalah
disampaikan pada Seminar dan Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional ke VIII yang
diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan
Hak Asasi Manusia, Denpasar, 14-18 Juli 2003.
[14]
Ibid.
[15]
Ibid.
[16]
Charles Himawan,”Pemulihan Ekonomi Butuh “Reliable Judiciary”. Dalam buku Hukum
Sebagai Panglima. Cet.1. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003. hal.35.
[17] Hikmahanto Juwana, “Politik Hukum UU
bidang Ekonomi di Indonesia.” bahan kuliah ke-2 Aspek Hukum dalam Kebijakan
Ekonomi Angkatan XV PD Program Magister Perencanaan Kebijakan Publik-FEUI.
Hal.7.
[18] Ibid. hal. 9.
[19]
Achmad Ali, “Keterpurukan Hukum di
Indonesia: Penyebab dan Solusinya,” Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia,
2002. hal. 7-8.
[20] Ibid. hal 8-9.
[21]
R. Shyam Khemani project director, “A
framework for the design and implementation of competition law and policy,”
World Bank, OECD, 1998. hal.2.
[22]
Ibid. hal.9.
[23]
Satjipto Rahardjo, “Liberalisme, Kapitalisme, dan Hukum Indonesia,” dalam buku
“Sisi-Sisi Lain Dari Hukum Di Indonesia,”
Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003. hal.21.