Masalah Ekonomi, Sosial, Budaya
Masalah Ekonomi, Sosial, Budaya
1. Pendidikan
Pendidikan
tidak merupakan prioritas utama pemerintah Indonesia di Papua. Papua
telah lama merupakan provinsi yang terlupakan dan hingga kini masih
merupakan provinsi paling terkebelakang dalam bidang pembangunan di
Indonesia. Untuk itu, tingkat SDM (sumber daya manusia) di Papua sangat
rendah.
Walaupun
kekayaan alamnya besar, rakyat Papua sulit menikmati keuntungannya.
Seluruh hasil kekayaan alam masuk ke Jakarta. Kwalitas pendidikan di
Papua sangat rendah, dan ini sama pula di Biak. Otonomi Khusus (otsus)
yang ditawarkan sejak 1 Januari seyogianya dapat mempromosikan
pemberdayaan SDM bangsa pribumi Papua. Sayangnya, sejarah menunjukkan
bahwa Indonesia tidak pernah menindak-lanjuti rencananya dan sebagai
konsekwensi, rakyat Papua sangat berhati-hati terhadap setiap rencana
pemerintah.
Terlepas
dari kenyataan bahwa adanya sekolah (SD, SLTP, SMU dan Sekolah
Kejuruan) dengan jumlah yang sangat sedikit, tidak terdapat tenaga
pendidik yang berkwalikasi dan tidak adanya keuangan yang memadai untuk
membeli buku dan peralatan pendidikan yang sangat dibutuhkan.
Sebagai konsekwensinya, tingkat pengetahuan anak yang menyelesaikan SD (Sekolah Dasar) dan SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama) sangat rendah. Karena orang-tua tidak memiliki uang untuk menyekolahkan anaknya ke sekolah kejuruan maka jumlah siswa putus sekolah semakin meningkat mencapai angka yang memprihatinkan. Sebagai contoh, banyak anak (teristimewa di kampung-kampung) tidak mengenyam pendidikan SD. Hal yang lebih merepotkan lagi adalah bahwa kurang dari separoh jumlah anak tamatan SD tidak dapat membaca dan menulis dengan baik. Lebih lagi, para tenaga pendidik kadang tidak berkwalitas dan tidak termotivasi karena sejumlah alasan, umpamanya gaji yang kadang-kadang tertunda atau sama sekali tidak terbayar (dan sebagai konsekwensi mereka mencari nafkah di lain tempat dan tidak muncul di depan ruang kelas).
Sebagai konsekwensinya, tingkat pengetahuan anak yang menyelesaikan SD (Sekolah Dasar) dan SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama) sangat rendah. Karena orang-tua tidak memiliki uang untuk menyekolahkan anaknya ke sekolah kejuruan maka jumlah siswa putus sekolah semakin meningkat mencapai angka yang memprihatinkan. Sebagai contoh, banyak anak (teristimewa di kampung-kampung) tidak mengenyam pendidikan SD. Hal yang lebih merepotkan lagi adalah bahwa kurang dari separoh jumlah anak tamatan SD tidak dapat membaca dan menulis dengan baik. Lebih lagi, para tenaga pendidik kadang tidak berkwalitas dan tidak termotivasi karena sejumlah alasan, umpamanya gaji yang kadang-kadang tertunda atau sama sekali tidak terbayar (dan sebagai konsekwensi mereka mencari nafkah di lain tempat dan tidak muncul di depan ruang kelas).
2. Konflik Etnik
Masyarakat
Papua tidak homogen melainkan heterogen (terdiri dari berbagai suku dan
ras). Ada sekitar 1 juta pendatang (migran) Indonesia tersebar di
seluruh Papua. Konflik antara masyarakat pribumi dan pendatang semakin
meningkat walaupun sejauh ini masih dalam bentuk psikhologis.
Hampir
tidak lagi terhitung bangsa pribumi, kaum migran mendominasi seluruh
sektor kehidupan: secara politik, ekonomis, sosial dan kultural. Ini
bisa saja menimbulkan pecahnya kekerasan fisik yang pada gilirannya akan
menjadi alasan bagi militer (TNI) untuk secara brutal menindak
masyarakat pribumi dalam usahanya untuk membelah kaum pendatang di Papua
sekaligus mempertahankan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).
Angka statistik menunjukkan bahwa 32% dari penduduk Biak adalah kaum
migran. Lebih dari itu, saksikanlah sendiri perbandingan personil di
dalam pertokoan, bank-bank, perkantoran dan lain-lain di Biak yang
menunjukkan bahwa mayoritas personil adalah kaum pendatang
(non-pribumi). Diskriminasi dan frustrasi dapat saja menyulut konflik
etnis dan pecahnya kekerasanbentrokan (clash) yang menimbulkan
mengungsinya kaum migran dan memberikan kesempatan bagi TNI untuk
melakukan arestasi secara serampangan serta menganiaya masyarakat sipil
yang tak berdosa.
3. Pengangguran
Biak
memiliki hanya beberapa perusahaan, dari sektor swasta dan negara, dan
sulit bagi orang Papua untuk dapat bekerja di perusahaan-perusahaan
tersebut. Sebagaiman tersebut di atas, kesempatan kerja di Papua
(termasuk Biak) didominasi oleh pendatang (kaum migran) dari Indonesia.
Angka pengangguran (pencari kerja) di Biak tahun 2003 berkisar 1.444
orang (tidak termasuk yang belum terdaftar). Ini merupakan angka
produktif dari jumlah penduduk Biak yang sekarang berkisar 160.000 jiwa.
Sumber : http://yapikbi.tripod.com/id28.html